Minggu, 25 Oktober 2015

Sabtu, 24 Oktober 2015

Senin, 19 Oktober 2015

Sepotong Episode ; Aku dan Kamu #1

Masa kecil, adalah masa-masa dimana kepolosan masih mendominasi. Masa-masa emas untuk belajar berinteraksi. Mengenal satu sama lain tanpa ada tendensi apapun. Masa-masa kita ketika masih bebas, tak berbatas. Baik batasan diri sendiri, ataupun batasan yang dibuat oleh orang lain. Kita sama-sama bebas melakukan apapun. Bergaul dengan siapapun, tanpa takut apapun. Bahkan tanpa memikirkan sesuatupun.

Minggu, 18 Oktober 2015

Kamis, 15 Oktober 2015

Rabu, 14 Oktober 2015

Memoar

Waktu itu, kulihat lagi wajahmu
Kemudian aku tahu :

Warna merah yang raib
dari langit maghrib
Ialah senyummu

Sinar kunang-kunang
yang meregang parak syuruk
Ialah senyummu

Senin, 12 Oktober 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

Lembah Imaji-ku

Apa kabar lembah imajiku?
Sepertinya, sedikit lengang. Oh tidak! Bahkan sedikit berdebu ...
Akhir-akhir ini, aku semakin jarang mengunjungimu. Meramaikannya dengan tanaman imaji warna-warni. Memperluas lagi lembah inspirasi yang mulai sempit.
Bukankah seharusnya lembah ini luas tak berbatas?

Apa kabar lembah imajiku?
Ah, bahkan aku belum sempat mengucap selamat datang pada Oktober. Hingga pergantian bulan, tak lagi menjadi perayaan istimewa di lembah ini. Bagaimana bisa istimewa, sedangkan aku begitu terlambat mendatangi tempat istimewa ini.  

Ada apa dengan duniaku hari ini?
Semuanya tampak tak nyaman bagiku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk singgah sebentar ke lembah ini. Hm ... Maafkan, bukannya bermaksud untuk menjadikan lembah imaji ini sebagai pelarian dari dunia nyataku. Tapi, disinilah tempatku bisa bercerita tanpa batas. Mencurahkan segala luahan rasa, yang bahkan tak mampu kukisah dengan kekata.

Lembah ini, seperti dunia keduaku. Lembah tanpa batas. Yang aku beri nama "Zhed'z Inspiring Valley". Lembah inspirasi. Lembah imaji.

Ah, maafkan ...
Kealpaanku mengunjungimu, membuatmu sedikit gersang.
Pohon-pohon inspirasi mulai layu. Bagaimana tidak, untuk sekedar menyiraminya sebentar saja, aku enggan. Forgive me ... :( 

Aku baru sadar, dan aku menyesal akan itu.

Namun begitu, maukah kau mendengar sedikit luahan tentang duniaku hari ini?
Aku harap kau pun bersedia.

Kau tahu? 
Hari ini, semua terasa aneh bagiku. Duniaku seolah berputar. Bukan berputar dalam konotasi masa, namun berputar dalam arti yang sebenarnya. 

Kau tahu lindu? 
Ya, sejenis gempa kecil, dengan tegangan rendah. Itu yang sedang aku alami hari ini. Sedikit-sedikit, badanku seakan terhuyung. Padahal aku tidak sedang sakit atau pusing sedikitpun. Kamu pernah naik lift kan ... Nah, ketika lift sedang naik atau turun, kamu pasti merasakan sensasi pergerakan yang tidak kau sadari. Seperti terhuyung sedikit. Kalau masa-nya cuma sekejap sih aku rasa nggak masalah. Namun sekarang, 'sensasi' itu aku rasakan hampir setiap saat. Waktu berdiri, bangkit dari duduk, bahkan ketika sedang duduk sekalipun. Seperti sedang ada lindu yang terus menerus terjadi. Namun kali ini, gempa bertegangan rendah ini, hanya aku yang mampu merasakannya.

Ah, sepertinya ... aku ingin sedikit menikmati 'gempa' itu dengan memejamkan mata rapat-rapat. Berharap 'gempa' itu segera berhenti. Namun ...

Oh, ada apa ini?
Mengapa dunia seolah benar-benar sedang berputar ketika aku memejamkan mata? Rasanya, aku seperti masuk dalam putaran lorong yang gelap. Berputar ... Berputar ... Terus tanpa henti. Lorong gelap itu seperti tak berujung. Dan aku merasakan sensasi aneh dari putaran itu. Sepertinya lorong itu berbentuk seperti kerucut. Namun tetap saja tak kunjung kutemui ujungnya.


Blaasshh!!!
Aku seperti terhempas ketika membuka mata. Seakan terlempar dari putaran itu. Rasanya itu, seperti kamu sedang diputar-putar, kemudian terlempar dan berhenti mendadak dari laju putaran yang begitu kencang. Ah ... Entahlah.

Hari ini, tidur siangku benar-benar terganggu. Untuk memejamkan mata, itu berarti aku menyerahkan diri dalam putaran gelap itu lagi. Wal akhir, aku nggak jadi tidur.

Jalanku sedikit kacau. Seperti orang sempoyongan. Sedikit-sedikit terhuyung. Bahkan pada awal gejala ini terasa, aku selalu menanyakan pada kawanku; "Kamu ngerasa kaya' ada gempa gitu ngga' sih?"
Dan itu berkali-kali. Konyol bukan? 
Ya, karna hanya aku yang bisa merasakan 'gempa' itu.

Hm ...

Rabu, 30 September 2015

Pada Akhirnya, Aku Harus Pergi




Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Menghapus jejak yang ada. Meniadakan bayang dalam terang. Bersembunyi dalam redup yang gelap.

Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Tak lagi ada dalam kehidupanmu. Membatasi diri. Membuat jarak dalam interaksi. Bukan, bukan hanya jarak, namun penghapus bayang dalam nadi.

Aku tak ingin berlama-lama. Toh semuanya belum pasti. Pun pada akhirnya nanti, aku harus pergi. Namun, aku tak ingin menunda waktu menjadi lebih lama lagi. Karna dengan memperpanjang adaku bersamamu, sejatinya kita sama-sama sedang mengukir luka yang semakin dalam. Dan keterpisahan itu, akan menjadi lebih sulit. Seperti luka dalam yang tak kunjung mengering. Karnanya, aku putuskan untuk pergi, sekarang ...

Aku tahu aku bisa. Dan kau pun akan terbiasa. Semuanya butuh waktu. Dan kapanpun kau ulur, waktunya tetap akan tiba. Karnanya, aku tak ingin lebih lama menunda. Meski sebenarnya tak tahu, apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menghapus bersih semua jejak. Tanpa pamit. Pun tak menyisakan sedikit kata. Hanya ada satu kalimat dalam benakku. Aku harus segera pergi ...

Maafkan, atas segalanya yang terjadi tiba-tiba. Namun keputusanku sudah bulat. Aku tahu, satu jam kedepan, bisa saja aku goyah. Maka aku tak ingin menunda. Selagi detik ini aku kuat. Meski hanya sesaat.

Karna aku paham akan hatiku, yang bahkan tak mudah untuk beranjak dari kehidupanmu. Maka, selagi kesempatan langka ini menghampiri fikirku, aku tak ingin terlalu banyak petimbangan dalam bertindak. Aku yakin ini jalan terbaik. Keputusan terbaik. Mengakhiri semua kebimbangan selama ini.

Maafkan, jika aku tak melibatkanmu sama sekali. Toh, kita sudah pernah berjanji untuk tidak lagi bersinggungan dalam nyata. Namun usaha itu tak pernah bertahan lama. Selalu ada celah untuk kembali. Dan tak ada waktu untuk pergi. Hingga jalan itu tertutup lagi.

Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Meninggalkanmu dalam sepi, katamu ...
Entah itu nyata, atau sebatas kekata.

Hingga aku rasa, inilah waktunya ...
Waktu untuk pergi
Mungkin kembali, atau tidak sama sekali.

Toh nantinya,
Pada akhirnya kita sama-sama akan pergi
Entah aku dulu, atau kamu ....



-
zahidaannayra-
~penghujung masa

       _30.09.15_



Kamis, 17 September 2015

Seperti Telaga yang Tertutup Salju



Bukan masalah berpisah atau keterpisahan,
Namun tentang bagaimana kita bersikap dewasa ...

~@zahidaannayra


Pada akhirnya, api yang membara akan padam. Hujan yang lebat akan reda. Debu-debu yang beterbangan merupa badai pun akan berhenti.

Seperti hati kita.  Yang lambat laun akan terbiasa dengan keterpisahan itu. Gejolak yang membara akan redam. Seiring dengan turunnya butir-butir putih yang mulai menebal. Meliputi setiap inci sekam yang membara. Hingga benar-benar redup dan tertutup. Menjelma putih yang dingin, kemudian beku. Tak ada lagi merah yang membakar. Pun gejolak yang rawan meledak. Terkikis oleh butiran putih yang turun. Merupa dingin yang mampu gigilkan rasa.

Dan kau pun lupa, akan air dalam telaga yang luas Itu. Ia menjadi hilang tak berbekas ketika butiran putih itu turun. Meski pelan dan perlahan. Butiran kecil itu, tak mampu menutup seluruh permukaan dalam satu waktu. But, slow and steady ... Satu-satu. Hingga permukaan air itu benar-benar tertutup. Tak lagi nampak kecipak yang bergejolak. Hilang dalam berbagai proses yang membutuhkan waktu. Berhari-hari, bahkan bulan dan tahun. Tak sebentar.

Mungkin sejenak kau akan lupa dengan air dibawah padang putih yang luas itu. Melupakan sejenak riak-riak di bawah sana. Asyik membuat jejak diatas telaga yang tlah menjelma padang putih itu. 

Namun kau lupa, seberapapun tebal permukaan putih yang menyembunyikan air dibawahnya, lambat laun akan mencair kembali. Memperlihatkan wujud dari padang putih itu sebenarnya.

Begitulah, sebanyak apapun jejak yang kau buat untuk menutup kenangan itu, rasa itu, pun episode yang pernah kau mainkan bersamanya. Hingga keterpisahan menjadi ending dari segalanya. Pasti, suatu saat nanti, entah kapan waktunya, adaaa saja satu bagian yang retak, kemudian memicu keretakan bagian yang lain, hingga tabir dari masa yang benar-benar berusaha kau timbun, menjadi tersingkap kembali.

Namun, musim tlah berganti.
Dan kau sudah cukup tertempa oleh satu musim yang benar-benar mampu menjadikanmu dingin. Membekukan segala ekspresi serta rasa yang tak lagi meletup-letup. Kau telah mampu meredam  segala gejolak dari bara yang pernah ada. Dengan butiran kecil yang turun satu-satu, kemudian menjelma menjadi padang putih luas yang mampu bekukan semua. Menutup pesona pelangi, menjadi satu warna; putih.
Menjelmakan segala ekspresi rasa, menjadi satu; dingin ...

Dan musim, benar-benar berganti. Menjelma semi yang berarti ; dan dinanti  ...


#Malam narasi OWOP
~@zahidaannayra




Selasa, 15 September 2015

Meredam Rasa



Jika dua orang benar-benar saling menyukai, itu bukan berarti mereka harus bersama saat ini juga.
Tunggulah di WAKTU YANG TEPAT
Saat semua memang sudah siap,
Maka kebersamaan itu bisa jadi hadiah yang hebat ntuk orang-orang yang bersabar

Sementara, jika waktunya belum tiba, sibukkanlah diri untuk terus menjadi lebih baik.
Bukan  dengan melanggar banyak larangan 
Suatu saat, waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya,
Apakah rasa suka itu semakin besar, atau semakin memudar ...


S.A.B.A.R
Satu kata itu, mungkin demikian mudah terucap dalam lisan. Namun untuk hati, mampukah ia bertahan? Menahan gejolak rasa yang meletup dalam bara. Seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu meledak ketika hati tak mampu lagi membendung lava yang membuncah keluar. 

Sabar ...
Bahkan kata itu seakan menjelma menjadi ketakutan yang dalam. Ketakutan akan suatu ketidakpastian. Seperti kerja paksa bagi hati untuk melakukannya.  Hingga waktu yang tak tahu sampai kapan.

Sabar ...
Tunggulah di waktu yang tepat
Saat semua memang sudah siap ...

Sampai beribu tanya berkecamuk dalam hatiku; lalu, kapankah waktu yang tepat itu? Saat hatiku dan hatimu bertemu dalam satu ruang, bercengkrama tanpa sekat, saling bersentuhan dalam rasa yang telah lama tertahan dalam batas ...

Sabar ...
Lagi-lagi kata-kata itu menggema di angkasa ... Mengawang dalam angan, saat tak lagi kita dapati jawaban yang mampu mewakili segala tanya

Kita mungkin berpura-pura  acuh. Seolah rasa itu tak pernah ada. Menyibukkan diri dengan berbagai hal. Bersikap dingin dengan rasa yang ada. Padahal , jauh di dalam sana, hatimu membara. Memerah dalam rona. Bertahan dalam gejolak rasa. Se-acuhnya dirimu di dzohir, kau tak akan mampu membohongi apa yang ada dalam bathin. Karna ia kuat. Utuh. Bersih. Dan, jujur ...

Hanya waktu yang mampu menjawab segalanya ...
Segala rahasia besar yang ada, akhir dari setiap pergolakan bathin yang susah payah kau biarkan tersembunyi. Akankah ia bertahan dalam bara yang semakin matang. Atau, padam begitu saja ... Dingin tertiup masa. Menyisa hangus yang membekas luka.

Kita tak pernah benar-benar tahu. Kita hanya bisa menerka-nerka. Pun tak pasti. Hanya kepastian-kepastian yang sebenarnya kita ada-adakan. Bentuk sedikit upaya untuk mendinginkan dua hati yang terluka. Meredam rasa.

Hingga akhirnya kita putuskan penantian itu. Penantian waktu yang tak pasti. Karna sejatinya kita sama-sama tahu; bahwa kita benar-benar tak tahu bagaimana kedepannya nanti, antara hatiku dan hatimu.

Jika bukan oranglain, pasti kamu ...




Senin, 14 September 2015

Bersyukurlah ...

Hari sudah mulai gelap, seiring matahari kembali ke peraduannya. Namun kali ini, kegelapan itu benar-benar membayang rata di seluruh desa kami. Sudah sejak siang  mati lampu. Hingga hari menjelang maghrib, entah kenapa listrik di desa kami belum juga menyala. Sementara udara panas khas kota Semarang, semakin membuat gerah yang mencipta lengket di kulit.

 Lampu mati, air pun mati. Ditambah nyamuk kebun yang mulai bermunculan dalam redup. Sempurna sudah. 

"Ya Allah, mati lampu setengah hari kaya' gini aja, orang-orang udah pada susah. Gelap, banyak nyamuk, air mati ... Mending sih, sekarang udah ada senter. Gimana jaman dulu ya, ketika listrik bahkan belum ada?" celetukku tiba-tiba.

Eeeh, tiba-tiba umi bilang ...

"Makannya, kamu harus banyak-banyak bersyukur ... Dulu waktu umi KKN, dan kamu masih ada di kandungan, desa tempat umi KKN sama sekali belum ada listrik. Kamar mandi apalagi. Hanya ada satu sumur umum, buat seluruh penduduk. Itupun harus jalan dulu 3 km untuk mencapai sumur dan mendapatkan air. Pokoknya, perjuangan banget!"

Aku tertegun, membayangkan kehidupan sebelum aku dilahirkan. Melalui masa-masa sulit ketika aku dalam kandungan.

"Lah, berarti Umi jalan jauh juga donk, buat ndapetin air? Dan itu, dalam keadaan hamil?"

"Awalnya begitu, tapi ketika Pak Lurah tahu kalau Umi sedang hamil, akhirnya Umi dibuatkan ruang kecil dari kain untuk kamar mandi. Jadi nggak perlu jalan jauh lagi buat ngambil air ..."


*****

Cerita demi cerita tentang masa lalu mengalir dari lisan Umi, mengisahkan berbagai hal yang semakin membuatku banyak bersyukur dengan keadaan saat ini. Diselingi kelucuan-kelucuan saat itu, khas anak-anak remaja.

Ketika kehamilan umi dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk meminta bermacam-macam makanan, dengan dalih 'umi ngidam'. Padahal saat itu, umi tidak sedang ngidam apapun. Hha ... Soalnya, kalo atas nama umi, pasti akan dicarikan. Padahal itu adalah keinginan teman-teman umi sendiri.

Meskipun saat itu hamil muda, dan umi dituntut untuk harus berkegiatan macam-macam, alhamdulillah kandungan umi kuat. Sampai-sampai, temen-temen umi bilang, "

"Fi, nanti kalo anakmu lahir, dinamain 'Pakemi' aja ..., truz kalo cowok, dinamain 'Pakemo' ... Haha"  Soalnya, desa tempat umi KKN itu, adalah Desa Pakem. Iiih, Ya Allah, dalem hati gue bersyukur, kaga' dinamain Pakemi karna gue terlahir cewek ... Haha ...

And I'm so happy because my parents give the best name for me ... Z.A.H.I.D.A  yang artinya, Zuhud terhadap dunia ... :)  


Many thanks and love for you, Mom ... :*



13.09.15
Darkness ...

Selasa, 08 September 2015

Ada Rasa Dibalik Kekata

Untukmu,
Yang membuatku bahkan merasa bersalah menuturkan himpunan kekata ...


Maafkan ...
Terkadang akupun bimbang, mengapa kata-kata itu demikian mudahnya mengalir dalam tulisan ...
Beruntun dalam satu untaian, yang bahkan .., tanpa kau tahu, semua itu justru membuatku tertikam oleh kata-kata itu sendiri.
Membuka kembali seberkas luka yang hampir mengering. Menjadikannya kembali menganga. Mencipta seberkas rindu.

Maafkan ...
Bahkan kata-kata itu, seolah menghadirkan kembali bayangnya dalam hati dan pikiranku.
Ia yang tak seharusnya ada.
Kau tak pernah tau, mengapa sedemikian mudah kata-kata itu mengalir begitu saja.
Ya, karna akupun pernah menjadi bagian di dalamnya. Bermain peran dalam lingkaran itu. Lingkaran yang sama denganmu.

Maafkan ...
Karna sebenarnya akupun tahu,
Tak mudah tuk lakukan semua itu, semudah aku menuliskannya, memaparkan dengan gamblang seluruh solusi yang ada.

Kau tak pernah tahu,
Sejatinya, aku seperti menuliskan kembali seluruh rasa yang pernah hinggap dalam bilik-bilik hati. Mengisahkan ulang cerita yang sempat aku mainkan, dan aku, sebagai pemeran utama. Hingga aku mampu tuk tuliskan setiap detailnya, seolah aku bersih dari semua itu ...

But ...,

Sekali lagi, maafkan ...

Bahkan untuk bangkit, aku pun belum seutuhnya mampu tegak berdiri.
Meski seolah tegar dalam netra,
Aku pun rapuh dalam nyata

Akupun punya cerita yang sama
Bahkan mungkin ..., rasa yang tertanam, melebihi apa yang kau rasa
Namun, sama seperti dirimu ...
Aku tak ingin berlama-lama dalam rasa yang menyiksa hati, pun jiwa ...
Bangkit dari keterpurukan yang ada, pun rasa yang menggelisahkan
Mencipta getir yang menyesakkan dada

Aku tahu tak mudah bagiku, pun mungkin dirimu nantinya .., yang sedang berusaha dan berjuang untuk bangkit ..

Namun, bukankah kita harus memilih untuk melakukan sesuatu yang harus kita lakukan, bukan pada sesuatu yang kita inginkan, bukan?

Karnanya, mau tidak mau ...
Susah pun berat .., harus kita lakukan, untuk bangkit ... untuk menjadi lebih baik ...
Bermain diatas skenario yang seharusnya

Bukankah kita telah percaya, bahwa Ia adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan kita?




Semarang, 08.09.15
Pergumulan asa ...

@zahidaannayra

Rabu, 02 September 2015

Analogi Buah Mangga

A.N.A.L.O.G.I  F.R.O.M  T.H.E  P.I.C.T.U.R.E


Malem ini, adalah jadwal malam narasi di grup OWOP
Gambar kali ini, bener-bener beda bin aneh. Entah apa yang ada dipikiran Pap Suh, sampe ngasih kita gambar kaya' gini buat di-narasi'in. Katanya, biar kita-kita terbiasa melihat lingkungan sekitar, kemudian mengambil inspirasi darinya.

So, however ...
Apapun yang ada di otak tentang gambar ini, tuangin aja.
Meskipun awalnya bingung, tapi ... Just do it! 

Daan .. Inilah hasilnya ...



#2. Malam Narasi
Bismillah ...

Kawan ...
Seperti buah yang padat, berisi ...
Aku harap,
Seperti itulah ukhuwah yang terjalin diantara kita

Kau lihat?
Daging buah itu begitu padat, membentuk satu kesatuan yang kokoh.
Tak pecah, atau sedikitpun rongga.

Begitupun kita. Bersatu dalam langkah. Berpadu dalam  keimanan. Tolong menolong dalam kebaikan. Saling menasihati dalam ma'ruf, pun mengingatkan ketika mungkar. Membentuk keharmonian rasa. Seiya sekata.

Disini, di tempat indah dengan title 'One Day One Paper' kita dipertemukan. Menimba ilmu, merajut mimpi bersama. Berbagi rasa, pun cerita. Ada bahagia, pun air mata. Mengiringi perjalanan kita dalam ranah impian, berprinsip mulia; stop wishing, start writing.

Hingga saatnya nanti, buah itu benar-benar matang seutuhnya.
Dan keterpisahan itu menjelma niscaya.

Suatu hal yang mustahil bukan, jika kita terus bersama dalam nyata?
Ada saatnya nanti kita berpisah.
Seperti pisau yang menjadikan satu-kesatuan itu terpotong-potong.

Kau tahu? Nantinya, potongan-potongan itu tidak akan sama. Seperti itu pun kita. Mungkin, ilmu yang kita dapatkan disini sama. Namun, disitulah kan teruji letak keseriusan kita dalam menimba ilmu. Mana yang menyerap lebih banyak, mana yang bahkan ilmu itu hanya numpang lewat.
Semua tergantung kita. Lagi-lagi, kembali pada diri sendiri.

Namun, seperti buah yang utuh, begitupun persaudaran kita. Saat lengah, rapuh, pun hempas ... Bukankah mereka ada? Membantumu bangkit. Mengulurkan tangan penuh arti. Menjaga agar satu bagian itu tak rapuh dan membusuk. Karna jika sedikit bagian itu membusuk, mungkin dia akan terpotong lebih dulu. Terhempas begitu saja.

Bukan itu yang kita inginkan, bukan? Bukankah kita ingin matang bersama ... Mencecap ilmu hingga akhir ... Kemudian terpotong oleh pisau masa yang menjelma keterpisahan, bersama juga?

Karnanya, selagi masa bersama masih ada ... Selagi pisau masa belum memisahkan keutuhan kita ... Semoga penjagaan itu masih ada. Agar tak ada busuk di satu bagian, kemudian terpotong diawal.

Hingga segala kesemogaan itu menjelma nyata, dalam persaudaraan kita ...

@zahidaannayra
#happy_writing_description
#owop_malamnarasi
#repost_from_owop

Rabu, 26 Agustus 2015

Life Is A Choice




Anak-anak itu, layaknya embun di pucuk shubuh.
Bersih, jernih, suci.
Setelahnya, ada yang jatuh tertimpa sinar, 
Atau meruap bersama mentari.

~@zahidaannayra


"Aku dulu ... aku dulu ..."

Anak-anak itu berlarian ribut. Berlomba menjadi yang pertama mendapatkan kran air mushola. Berebut untuk menjadi yang pertama berwudhu. 

Peci-peci mungil digantungkan. Kemudian terdengar kecipak air. Membuncah. Bertabrakan dengan keramik. Menimbulkan suara gemericik yang bermelody indah. Menjadi iringan diantara keriuhan suara-suara mungil yang belum juga reda. 

Dhuha itu, syahdu.

****

Pagi telah menjelma terang. Membawa matahari naik sepenggalah. Pagi yang syuruk, telah menjelma dhuha yang hangat. Kehidupan makhluk di bumi kembali berputar. Mengikuti arus kehidupan yang tak pernah mau berhenti, meski sejenak saja. Seperti rotasi bumi dan matahari. Jika sekejap saja beristirahat dari perputarannya, hancurlah semua. Bertabrakan satu sama lain. Berbenturan dahsyat, mengacaukan arus yang ada. 

Begitupun kita. Manusia yang dicipta untuk bergerak. Berbuat sesuatu. Apapun itu. Karna manusia diberikan pilihan kebebasan. Pun nantinya, pilihan itulah yang akan menentukan akhir kita; baik, atau buruk. Sengsara, atau bahagia. Semua pilihan itu diserahkan pada kita. Karena apa?  Karna Ia telah menciptakan kita berbeda. Dengan seperangkat unit yang kecanggihannya melebihi berjuta komputer. 

That's right!

Kita punya otak untuk berfikir. Menentukan langkah yang akan kita tempuh. Membuat keputusan yang seharusnya kita ambil. Membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Menentukan mana yang seharusnya dilakukan, mana yang tidak. Membedakan antara keinginan, dan keharusan sikap yang diambil.

Dan pilihan itu, ada di tangan kita. Tanpa sedikitpun Allah tinggalkan kita tanpa petunjuk. Kemana seharusnya kita melangkah. Semua petunjuk dan arah dari-Nya, sudah sedemikian jelas dan gamblang. Peta dan perbekalan menuju akhir, telah Ia titahkan. Tinggal bagaimana kita berbuat. 

Melangkah sesuai dengan apa yang Ia titahkan, menyiapkan perbekalan yang Ia sebutkan, dan berjalan diatas garis yang telah Ia petakan. Kemudian, engkau akan selamat. Menemu tempat yang telah Ia janjikan. Dan tersenyum diakhir perjalanan.

Atau,
Kau salah kaprah dalam memahami makna kebebasan bersikap dari-Nya?
Lantas kau bergerak sesukamu. Menempuh jalan tak tentu, tanpa bekal yang akan menolongmu di tengah perjalanan ketika kau terjerumus tak berdaya. Berjalan tanpa arah. Melangkah tanpa tujuan. Hingga kemudian tersesat tanpa perbekalan yang kau siapkan.

 Lalu, bagaimanakah akhirnya? 

Saat tak ada lagi jalan berbelok, dan kau tak mampu lagi berbalik ke belakang. Hanya ada jurang api di hadapan. Apa yang akan kau perbuat selanjutnya? Sedang kau dikejar oleh penyesalan yang tak dapat lagi kau perbaiki. Karna langkah telah patah. Tak ada lagi jalan pulang. Dan tujuan akhirmu telah kau dapatkan. Tujuan akhir yang berbalik dengan petunjuk atas apa yang Ia titahkan, agar kamu menemu tempat indah yang Ia janjikan diakhir perjalanan.

However ...,
Perjalananmu telah usai. 
Dan inilah tempat, hasil dari perjalanan tanpa peta yang kau pilih untuk kau tempuh.

****

Karnanya, jika kau diberi kesempatan Allah untuk membaca tulisan ini, itu berarti perjalanan hidupmu belum usai. Setelah titik terakhir dari deretan kata-kata yang kau baca sekarang, tanyakan pada dirimu. Tanyakan pada nuranimu; sudahkah kau berbuat sesuai dengan apa yang Ia titahkan?
Masihkah kau berjalan diatas jalan yang Ia petakan?
Dan ... sudahkah, kau siapkan perbekalan untuk akhir perjalanan?


'Asallaahu ayyaj'alana minal muttaqiin ...


Semarang, 26 Agustus 2015
~@zahidaannayra



Selasa, 25 Agustus 2015

Bukan Mawar Biasa






_🌹Seperti Mawar Berduri🌹_

Hai kamu ...
Iya, kamu ...
Kamu, yang akan menjadi ksatria-ku
Kamu, yang sedang berjuang untukku
Menempuh juang tuk mendapatkanku

Kau tahu?

Aku butuhkan engkau, yang berjuang dengan segenap jiwamu tuk menjemputku. Aku tahu, tak mudah memang. Karna untuk mendapatkanku, kau mesti berjuang. Menjelajah hutan yang dalam. Rimbun tak terjamah. Menerabas duri. Membabat alang-alang tinggi. Menembus angkara lebat tak tertandingi🌴🌴🌴.

Karna aku, ada di tepian jurang yang dalam. Bahkan, kau pun tak dapat menemu pandang pada dasar nan curam. Hanya hitam. Kelam. 🌚

Aku bukanlah mawar biasa. Yang terlihat indah di tengah taman. Siapapun bebas memandangnya. Menikmati keindahannya. Siapapun, dan kapanpun mereka ingin berlama-lama menikmati mekar yang merona. Bahkan, tanpa menyentuh dan terluka lantaran duri yang sejatinya hanya menjadi pajangan tak berarti. Menjamah tanpa terluka. Mencium tanpa perlu memetik.

Karna apa?
Mawar itu sejatinya tak terjaga. Meski duri begitu lebat memenuhi batang pangkalnya.
Hanya formalitas saja. Sebatas kelayakan sekuntum mawar yang tak sempurna tanpa duri.

Aku, bukanlah mawar di tengah keramaian. Menjadi pajangan keindahan di sembarang tempat. Karna aku, bukan mawar biasa. Aku adalah mawar yang tumbuh di tepi jurang yang dalam. Dan hanya satu-satunya.

Karnanya, tak mudah bagi siapapun mendapatkanku. Menemui hadirku dalam pandangan. Apalagi, menjamah dalam genggaman. Hanya kesatria hebat yang mampu lalui halang rintang tuk menemu jumpa denganku. Menerabas hutan, taklukkan ilalang. Bertaruh nyawa dalam genggaman.🔪🔪

Karnanya, aku menunggumu. Pada ambang batas yang mencipta getir sesaat; akankah, kau mampu melaluinya? Memberikan pengorbanan besar dalam hidupmu; hanya untuk, aku?💘

Mampukah engkau?
Dan disitulah, ku kan temukan kesungguhanmu ...
Ketulusanmu ...
Pun pengorbanan terbesarmu ...

Berjuanglah, ksatria-ku ...
Bersabarlah sejenak
Waktu itu, tak akan lama
Dan penantianku, akan berujung pada titik temu; hadirmu.

Dan kau akan datang, bermandikan peluh. Bahkan darah. Membuka mekar yang kuncup. Hingga kau mampu memetikku di ambang jurang yang dalam.


🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴💑🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

Semarang, 250815

-@zahidaannayra_
Diambang batas-ngantuk-😴

Sabtu, 22 Agustus 2015

Bergerak, menuju cahaya ...



Aku masih ingat, di persimpangan jalan kemarin, kita tlah membuat janji. Dan langit yang lapang menjadi saksinya. Saat keterikatan antara aku dan kau membuat kita terlena, hingga nafsu seringkali membuat kita terbuai berlama-lama. Bahkan, waktupun tak lagi kita hirau lamanya. Membuat kita terjerat pada satu lubang yang tak seharusnya kita terlena. Meski tak nyata dalam netra, namun ... bukankah berdua dalam ruang hati yang satu itu, suatu dosa? Bahkan, kitapun belum apa-apa. Kau dan aku masih asing dalam nyata. Namun keberpihakan hati kita, membuatnya seolah menjadi satu kesatuan yang ada. Menjadikan batas-batas itu niscaya.

Kau dan aku sama-sama tak sadar, ketika sejatinya kita telah terjebak dalam kegelapan yang pekat. Hanya karna sebatang lilin terang di depan mata. Tanpa menyadari sekeliling yang hanya menyisakan kita; berdua.

Hingga kemudian, kata 'penyesalan' menjadi satu keterlambatan bagi kita. Bukan, bukan bagi kita. Namun hati yang memainkan perasaan aku dan kau. Pikiran, mungkin mampu kita alihkan dengan berbagai kesibukan yang sebenarnya hanya kita ada-adakan saja. Namun hati, siapa yang mampu menangani keterikatan yang sekian lama telah terjalin; dalam ruang gelap, yang bahkan tak ada seorang pun tahu. Ranah senyap. Karna memang hanya ada kita berdua di dalam sana. Penjara kegelapan yang nampak indah bagi kita. Terang benderang. Karna memang, kita pun tak ingin menoleh sedikit ke belakang. Dan ketika kita sadar, tak ada cahaya di sekeliling kita. Hanya ada pendar lilin yang semakin redup di depan mataku dan kamu.



__speechless__


Hanya diam yang memainkan peran dalam kegelapan. Karna lilin cahaya itu telah sirna. Berganti kecamuknya rasa bersalah yang bergelayut. Menggantung di sudut redup. Beruntunglah, ada sekejab penyesalan yang membuka satu celah cahaya. Meski masih redup, satu persatu kesadaran membawa lilin cahaya yang lain. Membuka celah cahaya yang semakin benderang. Membuat kita mampu tuk tapaki jalan keluar. Menjauh dari penjara kegelapan yang tak seharusnya kita tinggal.

Namun kini, kita tak lagi berjalan bersisian. Karna semakin kita bersama, sejatinya kita hanya membuat celah-celah cahaya itu meredup. Menjadi tertutup dan kembali gelap.  Menjadikan cahaya itu niscaya. Kemudian sirna.

Karna sejatinya, kebersamaan itu meniadai. Kebersamaan hatiku dan kamu.
Meniadai hati-hati suci. Membuatnya ternoda oleh rasa yang tak seharusnya.
Menidai kesetiaan terhadap 'dia' yang seharusnya. Dia yang masih menjadi rahasia.

Biarlah ... sudah seharusnya kita mengakhiri semuanya. Sudah seharusnya kita mengubur dalam-dalam smua rasa. Membunuh dengan tega setiap kerinduan yang muncul tiba-tiba; menghabisi segala hal yang membawa kita pada ingatan semasa gelap. Agar kegelapan itu sirna seutuhnya. Hingga cahaya kita, berpendar sempurna.

Kita .., pada jalan yang berbeda ....




@zahidaannayra
Ruang saksi paripurna_

Selasa, 18 Agustus 2015

Merdeka Dalam Imajinasi



Kak ...
Aku dengar, besok adalah hari kemerdekaan negri kita.
Iyakah?
Apakah nantinya kita pun merdeka dari kemiskinan yang merajalela?
Akankah nantinya kita pun terbebas dari kesengsaran hidup yang selama ini kita tanggung?

Kak?
Kenapa kakak hanya diam?
Besok kita akan merdeka kan, Kak?
Tak akan lagi merasakan lapar yang melilit,
Pun haus yang mencekik ...
Bukankah di hari kemerdekaan nanti semuanya akan membaik?

Mengapa ada kekhawatiran menggantung dalam raut matamu, Kak?
Ada getir yang terselip dalam senyummu yang pahit.
Apa kau tak percaya dengan kemerdekaan esok hari, Kak?
Mengapa air matamu mengalir?
Tahanlah sebentar kegetiran hidup yang ada
Masih ada batu batu yang bisa mengganjal perut kita malam ini.
Tenanglah, Kak ...
Hari ini, adalah hari terakhir kita meminum air sungai yang keruh itu.
Bukankah besok kita pun akan merdeka?
Bahkan orang-orang di luar sana begitu meriahnya mempersiapkan penyambutan hari kemerdekaan esok.
Tidakkah kau juga bahagia, Kak?

******


Tidurlah, Dik ...
Agar laparmu tak lagi terasa
Lupakan hari kemerdekaan esok,
Karna kita memang tak pernah merdeka ...

Tidurlah diatas perut laparku
Biar kuceritakan indahnya cerita pahlawan yang memerdekakan kita
dari kesengsaraan 
Agar hidupmu indah, tak senista tubuh kita

Tidurlah ...,
Agar tak kau dengar lagi rakusnya koruptor melebihi anjing kelaparan
Tidurlah, Dik ...
Biarkan mereka menghabiskan miliran rupiah di istana
Untuk perayaan kemerdekaan yang entah diperuntukkan siapa ....

_suara hati mereka_




#merdeka_dalam_imajinasi
#malam_tantangan_OWOP

Senin, 17 Agustus 2015

Sebuah Puisi Untuk Indonesia



Sejumput Harap 
Oleh : Zahida An Nayra

Kerlip alvasentura menggantung 
Di pucuk senja
Semburat jingga membentuk siluet
Mengangkasa di langit Indonesia
Samar,
Diantara langit yg bergelayut suram

Sendu,
dalam tatapan yang semakin sayu
pancarkan aura kelabu
pada bumi yang semakin layu
ternoda oleh dosa
terluka dalam angkara
yang mencipta murka

Rinai tu membuncah
mengalir deras 
bergemuruh
seolah marah pada insan nan nista
penuh dosa
nan hina,

Negri itu, bernama
INDONESIA

tanah yang diharap banyak manusia
menjadi ranah syurga
pun ladang bahagia,
wasilah indah
tuk gapai dunia kekal selanjutnya
luruh,
pasrah,
pada ketetapan yang mengalun dalam sejarah dunia

tanpa berhenti,
berharap,
menanti,
merapal bait bait doa
pada,
INDONESIA, TERCINTA ....


Jogja,020115



#Ini puisi pertama aku yang masuk nominasi sayembara puisi untuk Indonesia, truz dapet pulsa 10.000. Dan aku seneng banget dengan itu. Why? Its not because a gift or whatever, but I get more spirit for my self to write again. This moment is actually make me proud and believe, that I also can spread my ability. Meskipun aku tahu ini bukan apa-apa, tapi disinilah aku bener-bener ngerasa lebih percaya diri dengan tulisan-tulisan sederhanaku ini.
Dan dari sinilah, semuanya seolah menjadi batu loncatan bagiku dan karya-karya yang mampu kuhasilkan selanjutnya. 

Ya, berawal dari pulsa sepuluh ribu, meningkat menjadi sertifikat-sertifikat yang sedikit demi sedikit mulai mencantumkan namaku sebagai kontributor-kontributor buku.
Alhamdulillah ... Bini'matihi tatimmus sholihaat ...
Semoga kedepannya bisa menelurkan buku tunggal, karya Zahida An Nayra. Amiin ... :)

Ilmu Padi ...




Jika kau ingin tahu seberapa pintar dirimu,
Bertemanlah dengan buku-buku
Disanalah kau kan dapati seberapa kualitas ilmu yang kau miliki
Niscaya kau akan semakin menyadari, betapa jauhnya dirimu dari predikat seorang ulama ....
.

Semakin kau belajar , lillah ...,
Semakin kau merasa dirimu bodoh dan tidak ada apa-apanya
dibanding dengan ilmu Allah yang luas ....
makin banyak kau menyadari; banyak hal terlewat yang belum kamu paham.
Masih banyak ilmu yang belum kau kuasai
Pun beribu petunjuk kauniah-Nya yang belum kau sadari tuk pelajari.
.

Namun,
Layaknya padi yang semakin berisi, makin merunduk;
mereka yang semakin banyak berilmu karna Allah, semakin tawadhu'lah ia, dengan sebenar-benar kesantunan atas kerendahan hati di hadapan Allah, pun manusia ..., sebagai makhluq yang hina ....


#universitaskehidupan

Selasa, 04 Agustus 2015

Setapak Rindu ...

     
Di persimpangan jalan, langkahku terhenti
Menggurat jejak
Pada setapak rindu
Terombang ambing mencari titik temu, yang menjelma ambigu ...

Aku terhuyung diantara padang pasir nan luas
Meraba petunjuk dalam sepi,
Mencari peneduh dalam terik

Bahkan memandangmu pun, aku tak kuasa
Bagaimana bisa ku menyelam dalam jernihnya telaga di matamu?
Bagaimana pula ku mampu mereguk air dalam telaga, demi memuaskan rindu yang bahkan hampir mengering...

Aku ingin berteduh,
Pada kehangatan hatimu yang mulai mendingin.
Bahkan menyentuhnya saja, aku tak lagi kuasa. 

Aku berlari mengejar. 
Menyibak kaktus kaktus. 
Menerabas duri.
Berharap bisa menemukan keteduhan
Atau setidaknya setitik sejuk yang mampu basahi gelegak rindu
Namun, sepertinya taqdirku menemu kecewa.
Hanya luka yang menyisa
Diantara sela-sela duri yang tercerabut
Pun darah yang mulai menetes
Pada goresan-goresan perih
Semua berhenti pada fatamorgana.

Hampir saja, aku menjadi seorang yang paling bodoh.
Berlari kesana kemari.
Bahkan di tengah terik yang membuatku terbakar.
Mencari sisa sisa pengharapan.
Meski pada hakikatnya, semua hanya berujung semu.

Rindu itu,
Belum tertakdir pada titik temu
Dan kau,
Pun masih menjelma bayangan semu
Tanpa ku tahu, kapan bayangmu mendekat, menjadi wujud yang sebenarnya dalam netraku

Aku ...,
Hanya mampu; menunggu ....



_@zahidaannayra_

Minggu, 02 Agustus 2015

Yuk, Jadi Kutu Buku yang Sehat ...



Hi guys ...
Pernah nggak sih, kamu dijulukin 'kutu buku'? Saking gilanya ama reading the book. Whereever and whenever, kamu selalu bawa buku.

Makan, sambil baca buku.
Di mobil baca buku.
Bahkan sambil jalan pun, pandanganmu masih aja mantengin tulisan-tulisan di bukumu. Ckckck ... Asal jangan sampe pas mandi kamu juga nyambi baca buku ya ..., bisa nggak mbentuk lagi tuh buku. Gara-gara basah kuyup, nge-blur semua deh tulisannya. Haha ....

Sampe-sampe, ada pepatah buatan --buatan siapa yaak? ^_^- -yang mengatakan 'Dimana ada kamu, disitu ada buku'. Saking nempelnya kamu ama buku. Udah kayak perangko ma amplopnya.

Sebelum tidur pun, buku masih aja nempel mesra ama kamu. Bahkan seringkali sebagai pengantar tidur. Kalo sebelum tidur nggak ada buku yang setia nemenin kamu, rasanya ada yang kurang gitu, dari serangkaian proses tidurmu. Bahkan bisa-bisa tidurmu jadi nggak nyenyak. Haha ...-lebay yah :v-

Eh, tapi bener loh, orang-orang yang udah kecanduan baca buku, bakalan susah tidur, kalo belom baca buku. Meskipun matanya tinggal 5 watt, alias udah ngantuk banget. Pokoknya, bagaimanapun keadaannya, tetep harus ada buku di sisinya sebelum tidur --ngotot banget yaak :v --.

Kalo yang ini, sebenernya pengalaman gue sendiri sih, hehe ...
Gue, kalo udah mau tidur, meskipun udah ngantuk banget, tetep harus bawa buku. Meskipun ujung-ujungnya, buku itu cuma gue pegang tanpa kebaca, gegara ngantuknya udah kagak nahan. Yaa, pokoknya harus bawa buku. Kalo gak gitu, gue lumayan susah tidurnya. Hehe ...

Sebenernya gak bagus sih buat mata, kalo harus dipaksain baca sambil tiduran --tapi baca sambil tidur tu, menurut gue adalah posisi paling enak lho, hhe. Gue bandel yak? Emang :p--

Terus, biasanya ..., karna kebiasaan baca sebelum tidur juga, kadang-kadang meskipun lampu yang terang ntu udah diganti ama lampu tidur, si kutu buku ini masih aja ngotot buat baca di tempat yang remang-remang begitu. Nah, jadi deh matanya tambah rusak. Kayak televisi yang antenanya lagi rusak. Alias bruwet. Hehe ...

Alhamdulillah, untuk saat ini gue belom nyampe stadium yang ini. Sampe sekarang ni mata masih sehat wal afiat. --malah curhat--

Nah, buat kalian yang sekufu sama gue ... Sesama kutu buku ..., tetep jaga kesehatan mata kalian ya, jangan dipaksain ngelakuin hal-hal diluar kemampuannya. Bisa-bisa dzolim lho, sama mata kita--nah lho--.

Terus .., kalo udah keasyikan baca, harus tetep inget waktu. Soalnya biasanya, orang yang udah keasyikan baca bisa lupa ama sekitarnya. Seakan dia udah berpindah dunia. Hanyut ama alur dalam buku yang dibaca. Bahkan lapar haus pun tak lagi terasa. Asal jangan nyampe lupa waktu sholat ya ....

Okay, for you the book lovers ..., keep love reading. Get more knowledge from your advanture. And, always reaching your stars and fly away to your dreams ... Good luck! :)

@zahidaannayra
#cotton island :v


Jumat, 31 Juli 2015

Seperti Minyak Dalam Air

"Kau tahu, Ra?" kata-katanya menggantung sejenak. Seolah memancingku untuk memfokuskan perhatian sepenuhnya pada perbincangan yang akan ia mulai.

"kau tahu, apa pengertian dari 'be your self' sebenarnya?"

Aku termenung sejenak. Memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaannya. Meski nantinya kutahu, kata-kata penjelasannya lebih bijak dari penalaranku.

"Hmm,, jadi diri sendiri itu, ya kapanpun dan dimanapun, seperti apapun orang-orang, bagaimana sikap mereka, pendapat, ataupun pandangan mereka terhadap kita, ya kita tetep nggak berubah. Stay calm. Tetep jadi diri kita sendiri, tanpa terpengaruh orang lain." tuturku tak yakin.

"Thats right, Ra ..."

"Hhhh .." aku bernafas lega.

"Jadi diri sendiri tu, adalah ketika kamu berbaur, tanpa bercampur." tambahnya singkat, namun sarat oleh makna.
"seperti halnya setetes minyak dalam segelas air. Sebanyak apapun jumlah air, frekuensi minyak tak berubah. Zatnya utuh, tak terkontaminasi sedikitpun."

Senyap malam menjadikan suasana semakin hening. Seperti sebuah aliran magic yang ia hembuskan, aku seolah terbius oleh kata-katanya. Seperti biasa. Selalu seperti itu. Hanyut dalam kata-kata yang seolah menjelma mantra-mantra penghipnotis bagi pendengarnya.

"Ra ...,"

Aku tersentak sejenak. Tersadarkan dari lamunan yang mencipta senyap.

"Hm?"

Pandangan matanya membuatku terkesiap. Raut mukanya mendadak berubah serius. Terbersit kekhawatiran dalam gurat wajahnya.

"Aku ingin kau menjadi seperti setetes minyak itu, Ra ... Esok, jika kau benar-benar pergi, dimanapun kau berada, tetaplah jadi seorang 'Ra' yang aku kenal. Kau boleh berubah, tapi berubah menjadi lebih baik. Jikapun nantinya lingkunganmu sama sekali tak mendukungmu menjadi lebih baik, itu tugasmu, Ra ..., buatlah mereka menjadi lebih baik. Warnai mereka. Jangan sampai kau terwarnai oleh warna mereka. Jaga warna indahmu, Ra ... Be your self, please ...."

Kata terakhirnya, membuatku semakin terenyuh. Seolah menjadi permohonan terakhir yang sangat ia inginkan untukku memenuhinya. Bahkan pada hal yang menjadi kebaikanku sendiri.

"Insya Allah, Kak ..., aku akan inget baik-baik pesan kakak ...." jawabku meyakinkan kekhawatiran yang masih menggantung dalam raut wajahnya.

Ia tersenyum. Ada bulir bening di sudut matanya. Namun kekhawatiran itu sepertinya telah lenyap. Terhapus oleh bulir bening yang kini menitik. Membasahi pipinya. Menghapuskan seraut khawatir yang kini sirna.

"Terimakasih, Ra ...."



-waktu itu-

Senin, 27 Juli 2015

Cermin Ajaib




Tuk tak tik ... Tuk tak tik ... Kriiiiiiingg!!!

"Huaaa ..., konde gue kemana ... Konde gue kemanaaaaaa???"

Mak Siti mencak-mencak. Pasalnya, alarm yang sengaja ia stel adalah waktu dimana ia harus berangkat menghadiri kondangan salah satu soulmate-nya. Rencananya, Mak Siti akan memamerkan konde terbarunya itu kepada kawan-kawannya. Tapi, karena ia punya penyakit lupa ingatan yang akut, kadang-kadang hal yang barusaja ia lakukan pun, ia sudah lupa.

"Dadaaaang ..., lu tau konde Nyak dimanaaa??"  Suara nyaring Mak Siti  memecah ketenangan  belajar Dadang. Membuatnya mendengus kesal.

"Pasti Nyak kambuh lagi ni penyakitnya." Batinnya

"Apa sih Nyaaak?? Berisik bangeet ..., gangguin aja ...."

"Lu tau konde Nyak kagak? Jangan-jangan lu umpetin ya Dang, biar Nyak kagak jadi berangkat. Hayo lho, lu takut dirumah sendirian kan, Dang?"

"Jiaah, ngapain Dadang takut sendirian dirumah, justru bisa bebas kali, nggak diteriakin ma Nyak mulu'." -_-

"Udah, cepetan, lu sekarang bantu nyari konde Nyak yang ilang ntu. Eittss, kagak boleh protes."

"Konde? Bukannya ...," batin Dadang. Kemudian tawanya meledak.
"Hahaha ..., wakwakwak ..., wikwikwikwik ..., hagzhagzhagz ..., kahkahkahkah ...." Seketika muncul ide liciknya. Cling!

"Dadaaaaaaaang!!!! Ngapain lu malah ketawa kayak orang sekarat gitu?! Bukannya ngebantuin cari, malah ketawa nggak jelas begitu!"

"Nyak, sini deh. Dadang bisa buat Nyak nemuin konde itu dalam waktu singkat." Dadang senyum-senyum sok misterius.

"Alah, bilang aja lu yang ngumpetin konde punya Nyak kan? Udeh, lu ngaku aja."

"Diiih, ngapain Dadang ngumpetin kondenya emak-emak. Gak banget deh Nyaaak ... Udah, Nyak mau kagak, Dadang kasih tau caranya nemuin tu konde?"

"Ya udaah, berhubung Nyak buru-buru, Nyak iya'in aja lah."

"Eitss .., tapi ada syaratnya Nyak ..., hehe." Dadang mesam-mesem usil, sambil ketiga jari; jempol, telunjuk dan jari tengahnya ia gesekkan; isyarat minta duit.

"Hattsssyyaaah, ni anak. Lu mau ngerjain Nyak ya? Udah, kasih tau dulu gimana caranya nemuin tu konde."

"Jadi gini Nyak, Dadang punya cermin ajaib, yang begitu Nyak liet, Nyak langsung tau deh, dimana konde yang Nyak cari."

"Hah, yang bener aje lu, mana ada jaman sekarang cermin ajaib segala. Kebanyakan nonton sinetron lu Dang!"

"Yee, si Nyak kagak percaya. Ya udah, kalo kagak mau." Dadang pura-pura berlalu.

"Heeh, Dadang, oke-oke, kali ini Nyak kasih lu kesempatan. Awas kalo sampe tu konde kagak ketemu. Mana pake' cermin ajaib segala. Ada-ada aje ni anak."

"Haha, oke deh, deal kalo gitu ya Nyak. Eitss ..." Dadang kembali menggesekkan ketiga jarinya."

"Hadeeh, dasar matre ni anak." Sahut Mak Siti sambil mengeluarkan satu lembar uang limapuluh ribu. Dadang tersenyum menang. Puas.

"Ayo Nyak, tapi Nyak harus mejamin mata dulu."

"Ayo kemane mang? Pake' mejamin mata segala?"

"Udaah, Nyak nurut aje dulu."

"Busyet dah, kalo kagak terpaksa, Nyak kagak bakalan mau nurutin apalah itu, cermin ajaib segala ..."

*****

"Loh Dang, bukannya ini kamar elu? Cermin ini kan cermin lemari biasa, sejak kapan jadi ajaib?. Ah, lu bo'ongin Nyak ya?"

"Selow Nyak, selow ..., sekarang Nyak perhatiin cerminnya baik-baik. Nyak bakal nemuin konde Nyak hanya dengan menatap cermin itu baik-baik."

Dadang pura-pura membaca mantra dan meniupkannya pada cermin di hadapan Mak Siti.
"Pyuuh ..."

"Wah, Dang, lu kurangajar ya, kenapa kagak bilang daritadi, kalo kondenya udah Nyak pake'?! Ini ma bukan cermin ajaib namanya, semua cermin juga bisa!!"

Sementara Dadang sudah berlari keluar, bersama uang limapuluh ribunya.


#repost