Selasa, 06 November 2018

Sinopsis

Sinopsis



Seperti yang kamu tahu, aku ini buku yang selalu terbuka. Jujur dari kata perkata. Meski kadang kau enggan membacanya, aku tetaplah aku. Si buku yang selalu terbuka.

Mudah untuk menebakku, tidak sulit menyimpulkan rasa kehilanganku--atau bagaimana usahaku membuat semuanya seperti dulu lagi. Alurku, kau tentu tahu : akhirnya Sang Pangeran datang kembali– mereka berdua hidup bahagia, selamanya.

Tapi kamu tetap mengunci pintu. Tak mau keluar, pun menengok buku yang terbuka di atas meja beranda rumahmu.

Saat ini akhirnya datang, dimana aku memutuskan untuk menutup semuanya. Maka berakhirlah. Kau tidak lagi berhak menyentuhnya, melihatpun tidak. Karena kau tahu? Aku sudah cukup lama bertahan menjadi kata-kata yang takpernah kaumengerti maknanya.

Kututup. Cerita. Kita.
Eh. Ceritaku. Maksudnya.

Tentang seorang pejuang, yang tak tahu diri. Tak tahu tentang dirinya sendiri. Siapa musuhnya? Apa yang dia perjuangkan? Siapa yang dia bela dengan kesungguhan?

Kini tamatlah.
Sudah.

Aji Nur Afifatul Hasna
Malang, 20 Juni 2015 

Sabtu, 03 November 2018

Terbangun dari Tidur Panjang




Setelah sekian lama aku sibuk menerka, mungkin hari ini Allah datangkan jawabannya. Jawaban yang keluar langsung dari lisanmu, melalui kejadian yang mungkin tidak sengaja. Namun, akhirnya aku lega setelah menemu jawaban dari rasa yang selama ini haus akan tanya.

Kamu, terimakasih, telah menyadarkanku dari tidur panjang dengan mimpi indah yang sebelumnya entah kapan akan berakhir. Dan, yaa.. aku telah terbangun. Dari ketidak-sadaranku yang cukup lama. Aku telah sadar dari keterbuaian mimpi indah serta angan-angan semu yang tak nyata.

Bagaimanapun indahnya sebuah mimpi, selamanya ia tetaplah mimpi. Sebuah angan angan yang jauh dari nyata. Sebab ia maya, yang stagnan dalam satu pijakan, dan tak akan kemana-mana.

Dan ketika terbangun, aku sadar, bahwa aku telah demikian jauh terbuai. Terlanjur nyaman dengan mimpi, hingga lupa bahwa aku hidup di dunia nyata. Bukan maya. Aku kini sadar, bahwa selama ini aku hanya terperangkap dalam rasa, angan-angan, serta mimpi yang sejatinya aku ada-adakan sendiri.
__

Kamu, terima kasih telah membuatku sadar atas mimpi ini. Jika kamu telah mampu terbang jauh di langit, aku mungkin masih terperangkap di bumi.

“Aku jahat ya, Ra..” katamu suatu waktu. Dulu.

Dan, ya.. aku baru menyadarinya. Kamu memang jahat.

Sebab hanya kamu yang tega membiarkanku sekian lama terbuai dalam mimpi-mimpi, tanpa ada sedikitpun usaha membangunkanku dari mimpi indah yang sama sekali tidak nyata. Padahal kamu sebenar tahu, bahwa aku hanyalah bermimpi. Bermimpi tentang kamu dan aku dengan skenario yang aku buat-buat sendiri. Kamu tahu, dan hanya melihat tanpa peduli bagaimana sakitnya nanti, jika aku terbangun dari mimpi indah itu, kemudian menyadari bahwa itu hanyalah angan belaka.

Aku terbangun. Bukan karena kamu yang membangunkannya. Namun karena sedikit demi sedikit aku mulai curiga dengan segala hal yang seakan tak pernah usai, namun selalu menyisakan tanda Tanya.

Dugaanku benar, setelah aku terbangun dari tidurku, kau hanya tersenyum melihatku. Kau tahu? Seakan-akan harga diriku runtuh ditertawakan olehmu. Seakan-akan bahagiaku lenyap karena sebenarnya kamu tahu; bahwa aku hanya bermimpi.

Jika boleh jujur, kecewa itu ada. Sangat ada. Dan mungkin akan membekas, dalam.

Namun justru dengan kecewa itu, mungkin aku akan membentengi kuat-kuat diriku, agar tidak lagi tertidur tanpa sadar, kemudian terbuai dalam mimpi dan angan-angan yang kuada-adakan sendiri. Aku lelah berada dalam kesemuan. Indah namun palsu. Seperti bualan tanpa makna.

Ah, sudahlah..
Aku terlalu lelah untuk bermain dalam mimpi. Mimpi yang hampir-hampir membuatku tidak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang maya. Aku sudah terlalu lama terperangkap dalam imajinasi serta cerita indah yang kubuat-buat sendiri.

Pada akhirnya, terimakasih, telah membuatku sadar,

bahwa aku bukan lagi siapa-siapa. di matamu.
thankyou for make me aware, 
that I’m,

N.O.T.H.I.N.G-
Selasa, 23 Oktober 2018


Karena Kau Berhak untuk Bahagia


Satu realita yang sampai sekarang belum mampu kau terima kenyataanya,
adalah bahwa kamu bukan lagi siapa-siapa di matanya.

Kau mungkin lupa menengok, genggaman erat yang kau pertahankan ternyata telah lama kosong. Kau luput menyadari, bahwa selama ini kau hanya memeluk hampa. Menggenggam udara tanpa makna.

Kau bukan lagi siapa-siapa. Tangannya tidak lagi menggenggammu. Ikatan itu telah lama terlepas, namun kamu memilih untuk tidak ingin menyadarinya.

Kamu terlalu takut untuk jatuh. Kamu belum siap untuk merasakan sakitnya. Meskipun kamu tahu, bahwa sejatinya luka karena pura-pura itu jauh lebih menyakitkan daripada menerima kenyataan yang ada, kemudian berjuang untuk mengikhlaskannya.

Tersenyum di atas luka memang pedih. Seperti menyiramkan air garam pada luka yang masih menganga. Akan ada air mata yang mungkin saja menetes atas kesakitan itu. Namun membiarkan luka tanpa membersihkannya, kemudian berpura-pura tidak menyadarinya, akan membuat luka itu semakin parah. Bahkan infeksi.
Rasa sakit itu justru akan membekas, meski waktu telah berlalu lama.

Dunia kalian sudah berbeda. Tak lagi sama seperti dahulu kala. Sekuat apapun kamu mempertahankan diri untuk tetap membersamai langkahnya, semua akan sia-sia. Hanya kelelalahan bertambah-tambah yang akan kau rasa. Karena sejatinya, jalan kalian memang tidak lagi pada atmosfer yang sama.

Berhentilah..

Berhentilah memaksakan diri untuk mensejajarkan langkahmu dengannya. Karena semakin memaksa, kau akan semakin lelah, tersaruk, tertatih, jatuh, kemudian terhempas tanpa daya.

Tak apa, berhentilah..
Menangislah, jika kau ingin menangis..
Berteriaklah sekuat tenaga
Namun jangan pernah berharap akan kembalinya ia dalam hidupmu

Menangislah..
Semoga setelah tangis panjang ini, kamu mampu tersenyum,  meski harus berpapasan lagi dengannya, mungkin dalam sebuah episode yang berbeda.

Menangislah sepuasnya..
Sekarang. Saat ini saja. Ya, cukup hanya untuk kali ini saja.

Selepasnya, jadilah pribadi yang kuat, dengan hati yang lebih kebal dari sebelumnya.
Jadilah kuat, dan berjanjilah untuk tidak lagi menuju arah yang sama.

Mengapa?
Karena kau berhak untuk bahagia.
__
note to my self.
@zahidaannayra~

Jumat, 19 Oktober 2018

Perangkap


Semua orang yang kamu benci barangkali tidak tahu tentang kebencianmu. Sementara mereka menjalani hidupnya dengan leluasa, Kamu terperangkap dengan perasaan yang menyulitkan dirimu sendiri. Kebencian itu menggelapkan hati, menggelapkan pandanganmu dari kebahagiaan.  
Dan orang yang kamu cintai juga mungkin sama sekali tidak tahu tentang rasa cintamu. Sementara mereka menjalani hidupnya dan kamu tidak ada di hatinya. Kamu tertawan dalam imajinasimu sendiri, kamu kesulitan membedakan mana kenyataan dan mana angan-angan. Dan itu membuatmu tidak beranjak kemana-mana sementara ia telah melangkah jauh. 

Ah, mungkin itulah yang terjadi jika kita terus menerus terbelenggu dalam kubangan rasa. Perasaan yang sejatinya kita ada-adakan sendiri, hingga menghasilkan sesak di dada. Berharap orang lain mengerti dan paham dengan apa yang kita rasa dan pikirkan. Kemudian kecewa saat sikap mereka tidak sesuai dengan harapan. Marah, kesal, kecewa, hingga berakhir dengan kebencian.

Kamu pikir diri kita ini siapa? Selalu minta dimengerti, dipahami, dituruti keinginannya. Yang bahkan tidak pernah sedikitpun kau bicarakan perihal rasa itu sendiri. Lalu, bagaimana orang lain akan tahu? 
Ah, mungkin kita lupa bahwa manusia memang bukan makhluk yang pandai menerka. Bukan pula ahli kebatinan yang akan selalu tau apa yang ada dalam hati. Lalu, dengan keterbatasan yang ada, mengapa tidak memilih memahami, daripada selalu meminta untuk dipahami?

Hasilnya, kamu terperangkap dalam perasaan membelenggu yang seakan-akan tidak ada habisnya. Sementara mereka menganggapmu dengan dirinya baik-baik saja. Kamu terpuruk, menangis, berharap akan sebuah penyelesaian, namun tidak beranjak untuk mengangkat rasa itu dari hati. Dunia yang luas seakan gelap dan sesak. Kamu terpenjara tanpa mampu untuk berkembang dan bermetamorfosa menjadi lebih indah. Tanpa sadar, justru kamu sedang menyiapkan kematian bagi hatimu yang semakin gelap dan sempit. Suatu saat, jika kamu kalah dengan segala angan dan perasaanmu,

Kamu akan mati! 

@zahidaannayra~

Rabu, 20 Juni 2018

Mendikte Peduli


_
Terkadang, lisan kita gatal untuk bertanya "Tadi malam sholat berapa roka' at?" sebab  melihat teman kita bangun di akhir malam, ketika waktu sudah sedemikian mepet dengan shubuh.

Sering, kita tidak mampu mengontrol diri untuk tidak bertanya,  "Kamu khatam berapa kali Ramadhan kemarin?" hanya karena kita merasa tilawah kita 'terlihat'' lebih sering daripada teman kita.

Padahal, kita tak pernah tau, mungkin saja kehatia-hatiannya mencontoh Abu Bakar yang sholat di awal waktu, karena takut tidak bisa bangun di sepertiga malam terakhir

Mungkin saja, di tengah-tengah kesibukan yang menghalanginya untuk membaca Al-Qur'an lebih sering,  bibirnya tak pernah kering mengucap istighfar di setiap detiknya.
_
Manusia, bukankah kita hanya diperintah untuk amar ma'ruf nahi mungkar, tanpa perlu tahu apalagi sibuk mendikte amalan orang lain?

Cukuplah kita sibuk dengan ibadah serta amal pribadi,
Cukuplah kita was-was dengan diterima atau tidaknya amalan kita, dengan terus membenahi diri menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.

Memang, seringkali semut di kejauhan lebih terlihat jelas, daripada gajah di pelupuk mata. Benar begitu?
_
Selamat berlibur~
@zahidaannayra_

Selasa, 19 Juni 2018

L. I. K. E


__
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanyaku padanya.

Masih dengan senyum manis, ia sodorkan handphone di tangannya.

"Just it? " tanyaku padanya.
Ia mengangguk, tersenyum.

" Kamu bahagia hanya karena ada notif dari dia yang nge-like postingan kamu? "

"Iya. Kenapa memang?"
__
Mungkin memang begitulah dahsyatnya kekuatan cinta.
Ah, andai kita tahu; kapan Allah 'like'  sama amalan-amalan kita
Andai kita tahu; kapan Allah 'like' sama ibadah-ibadah kita

Pasti kita tidak akan pernah berhenti tersenyum mengetahuinya, bahkan meminta untuk dimatikan saat itu juga.

Andai kita tahu, kapan Allah ridha dengan kita, satu amalan saja. Tentu kita tidak akan berhenti melakukan amalan itu, tanpa berpaling kepada amalan lainnya.

Sayangnya kita tidak tahu.
Karna Allah ingin menguji kesungguhan kita.
Mana diantara hamba-hamba-Nya yang serius mencari ridha-Nya hingga akhir.
Tidak terpengaruh godaan di kanan kirinya.

Meski ia tidak tahu, amalannya diterima atau tidak.
Meski ganjaran dunia pun seandainya belum ditaqdirkan adanya, akankah ia tetap ada di jalan-Nya, atau justru kemudian berpaling dari jalan-Nya.

Ya, mungkin memang begitu.

Sebab Allah hanya akan memberi rahmat pada hamba yang lulus dari seleksi dunia.
Tidak terlena dengan nikmat yang fana, untuk kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Jannah Allah Ta'ala.
_

@zahidaannayra~