Rabu, 30 Agustus 2017

Apa Salahnya Memilih Diam?

Apa salahnya menjadi diam? Jika diam menjadikannya tenang, kenapa memilih bersuara lantang yang hanya menciptakan perang. Diam bukan berarti kalah, diam juga bukan berarti mengalah, tapi diam itu mencoba untuk menjadi penengah. Menjadi diam itu tak salah, namun seringkali bernilai serba salah. Terkadang diam adalah pilihan terbaik tatkala mulut mulai enggan untuk berucap dan berkata.

http://riniyuvita.blogspot.com/2013_06_01_archive.html

Diam itu tak salah, namun juga tak benar. Diam itu menanti, bukan membisu. Menanti waktu yang tepat untuk berbicara, tak asal berucap bagai senar gitar yang acak bergetar. Jangan bicara tatkala jiwamu murka, jangan berjanji tatkala jiwamu sedang tak bernyali. Bukan bermaksud menghakimi tapi hanya untuk menjaga diri. Menjaga diri dari api janji yang begitu membakar hati. Terkadang aku memilih diam bukan karena tak tahu apa-apa, tapi aku memilih diam karena enggan untuk memperkeruh suasana. Sesungguhnya aku memilih diam ketika banyak pendapat yang ingin aku sampaikan namun oleh mereka ditanggapi layaknya sebuah umpatan. Tak berguna, dan tak diapresiasi. Jadi untuk apa aku banyak cakap?


Jangan menjawab ketika sejuta kata menyerang urat syaraf telinga. Menjadikanmu tuli tatkala kamu memilih untuk membalasnya. Ingatlah kata Putu Wijaya “Jangan bicara ketika kau ingin menyemprot dunia dengan kata-kata, karena di belakangnya mengantri berjuta-juta kata indah yang sedang menanti. Bicaralah ketika kau membisu.” Mendiamkan diri bukan mendiamkan dunia, tetapi mencari celah masalah untuk menyelipkan solusi. Orang bijak berkata karena mereka punya sesuatu untuk dibicarakan.

Jika diam menjadikanmu seperti Macan sekiranya diam menjadi pilihan. Apa gunanya berteriak lantang jika hanya akan menjadikanmu seperti kawanan Anjing jalanan. Kawanan Anjing jalanan yang berisik dan saling mengusik. Imam Syafi’i pernah berkata “Tidakkah engkau lihat bagaimana Macan di hutan belantara begitu ditakuti dan disegani ketika mereka diam. Tidakkah engkau melihat bagaimana orang-orang melempari anjing-anjing jalanan karena terlalu banyak menyalak dan menggonggong tak perlu.” Terkadang aku memilih diam bukan karena tak punya kata, tapi karena menurutku itu lebih mudah dalam menjelaskan semuanya.

Jadi, apa salahnya Aku memilih diam ???

__
Sastra Ananta

Sabtu, 12 Agustus 2017

Dimanakah Kita?



Jika buku-buku yang kita baca menjadikan kita merasa lebih tahu daripada sesama..
Jika kajian-kajian yang kita hadiri membuat kita merasa telah pasti berada di jalan yang diridhai..
Jika dengan berada di jama'ah A, mengutip Syaikh B, dan menjadi murid ustadz C menguarkan dalam dada kalimat, "Aku lebih baik daripada dia.."
Jika ilmu dan amal yang kita raih menumbuhkan perasaan betapa berhaknya kita atas syurga..

Mari kita simak satu kisah di antara berpuluh ribu kemuliaan para salafush shalih.

Adalah Al Imam Abul Faraj ibn Al-Jauzi, rautan pena yang digunakannya untuk menulis dapat menyalakan perapian sebuah rumah selama berbulan-bulan. Jika jumlah halaman seluruh karya tulisannya yang sekira 2000 judul dibagi dengan umurnya sejak baligh, maka dihasilkan bilangan 40 halaman perhari.

Melalui dakwahnya, lebih dari 30.000 Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Melalui mau'idzahnya, lebih dari 100.000 orang bertaubat dari dosa-dosa. Tapi beliau berwasiat kepada para muridnya sambil menangis terisak-isak.

"Jika kalian telah masuk ke dalam surga Allah," ujarnya di sela sesenggukan, "sedang kalian tak mendapatiku ada di sana. Maka tanyakanlah oleh kalian tentang diriku. Lalu katakanlah, 'Ya Rabbi, sungguh hamba-Mu si fulan pernah mengingatkan kami tentang Engkau. Maka angkatlah dia, serta sertakan bersama kami dengan rahmat-Mu.'" Dan beliau semakin tersedu.

Ya Rabbana.. Aina nahnu min akhlaaqissalaf..
Dimanakah kedudukan kami dibanding segala kebajikan yang mereka tebar dengan ilmu dan amalnya; lalu dimana pula kami dibanding akhlak dan ketawadhuan mereka...

__
Sunnah Sedirham Surga_
#100th post

Selasa, 16 Mei 2017

Jarak




Terkadang, jauh menjadi lebih baik, ketika dengan jarak, hati-hati itu lebih terjaga. Tak ada yang tersakiti, pun tak mencipta luka yang saling meniadai.

Kadang, diam pun menjadi lebih baik, jika dengan bicara mampu membuat riak yang tenang menjadi bergelombang.

Ada waktu dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk memulai perbincangan denganmu. Menjadikanku lebih sensitif dari biasanya. Menjadikan hati lebih rentan dari kebal yang selama ini membentengi. Kemudian ketakutan-ketakutan itu muncul dengan sendirinya. Menggentayangi hari-hari.

Ada waktu dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk mengulum senyum pun sapa kepadamu. Aku seolah menjadi pesakitan yang takut akan sebuah kehilangan. Aku menjadi takut untuk jauh darimu. Khawatir kau pergi dan tak kembali lagi.

Aku takut menjadi dekat, namun jauh lebih menakutkan dibanding apapun. Sebab aku hanya mampu terpaku, menatap punggungmu yang semakin menjauh dari nyataku. Dan aku terdiam, tanpa mampu bergerak satu langkahpun dari tempat berpijakku.

Padahal, kau tahu? Dari ujung lorong kumenunggu, jauh sebelum kedatanganmu. Berharap was-was akan kau yang bahkan tak pasti kedatangannya. Untuk kemudian semua itu terbayar dengan cemas yang menjelma nyata. Aku melihatmu muncul dari ujung lorong itu, namun arahmu bukan menuju tempatku menunggu. Hanya sepintas kau memandang, kemudian berbalik dan pergi.

Aku bisa apa? Selain termangu memandang kepergianmu, bahkan sebelum kedatanganmu kesini.

Beberapa waktu berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Aku bahkan mulai nyaman dengan jarak yang tercipta. Sebab tak ada lagi khawatir untuk menyakiti hatimu, pun aku. Semuanya mengalir dalam alunan yang datar, tanpa riak yang menggelombang.

Namun, haruskah semuanya tetap berjalan pada alur yang seperti ini? Meski nyaman sama-sama menyelimuti hari, akankah kita tetap begini?

Kita seperti berada pada dua sisi yang dipisahkan oleh satu garis tipis. Nampak mudah untuk diterjang, namun tak pernah sampai untuk diraih. Dan akhirnya, kita berada pada kedekatan yang tak akan pernah mampu untuk disatukan.

Apa memang kita hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu?

Memang benar, melepaskan apa-apa yang bahkan belum dimiliki, jauh lebih menyakitkan dibanding membiarkan pergi seseorang yang pernah membersamai.


__

-zahidaannayra-

Minggu, 14 Mei 2017

Menghitung Mundur



Dear, 15.05.17
Selamat datang angka baru. Jika kusebut ini rindu, kau sebut apa rasamu untukku? hahaha, mungkin tabu. Atau seperti ejaan kata a-b-u a-b-u? Terasa samar, persis seperti warna yang dimilikinya. Entah.
Nikmati saja. Akan ada hari, di mana nanti kita akan saling mengucap kata 'sampai jumpa selamanya'. Semacam kalimat perpisahan yang tak diikhlaskan; beraaat sekali. Tapi tak ada alasan untuk tidak berpisah.
Kita tidak ingin menentang takdir, bukan? tentu saja semoga. Kelak yang kubagi bersamamu bukan lagi tentang mimpi atau cita-cita ke depan. Tapi khayalan dan kenangan. Karena namamu, bukan (lagi) siapa-siapaku.
Tunggu saja, hitunglah mundur dari detik kita saat ini. Maka kau akan tau, betapa aku merasa suliiiit sekali melepaskan segalanya. Melepaskan kata 'kita' di antara kau dan aku. Hahaha. Apa terkesan berlebihan?
Menurutku tidak. Sebenarnya aku hanya ingin berterima kasih dengan sangat. Atas apapun yang kau titipkan di ingatan-ingatanku ini. Selebihnya biar kusimpan sendiri. Tidak perlu siapapun tau. Tenang, aku menikmatinya.
Ohya, satu hal lagi. Aku minta maaf! Atas segenap kelancanganku memasuki celah-celahmu. Sedikitpun tidak ada maksudku untuk menitipkan luka atau rasa sakit. Aku hanya ingin dikenal dan dikenang sebagai orang baik.
Jadi, jangan pernah menganggapku kelak, sebagai alasan kesakitanmu ya? Justru harapku, bahagiaku adalah bahagiamu pula. Begitupun sebaliknya. Sampai dunia mengizinkan kita untuk tetap berteman; selamanya.
Maafkan aku.
Maafkan kita :')

__
-Abella Syauqia-

Pergi Untuk Memahami




"Kau berubah, Ra .." ujarmu suatu waktu.

"kita seolah tak pernah akrab sebelumnya. Kau bahkan seperti asing bertemu tatap denganku. Segala tingkah pun lakuku seakan-akan selalu salah di matamu. Aku di hadapanmu, bahkan bukan seperti teman masa lalu yang penuh dengan kenangan indah sebagai sahabat karib.."

I have known about it.
Aku tahu, suatu saat, kau akan mengungkap semuanya. Aku tahu, suatu saat kau akan meluahkan semuanya. Saat kau tak lagi kuat dengan semua keadaan yang menimpamu. Itu menurutmu. Hanya kau yang seolah menjadi korban dari segala ketidak perdulianku. Bukan, bukan hanya kau yang merasakannya. Meski kau tak akan tahu, bagaimana sejatinya segalanya berjalan hingga aku menjadi pribadi yang seperti ini.

Dan inilah waktunya. Saat kau tak mampu lagi membendung semuanya. Merasakannya sendiri semua beban yang ada. Yang lagi-lagi, itu semua hanya berdasarkan persepsimu.

"Mengapa? Kau menyerah dengan semua ini?"

"Haruskah aku terus-terusan bertindak bodoh, agar orang lain tidak menyadari akan apa yang terjadi?" teriaknya mulai berkaca.

"Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan semua itu?"

Aku menangkap gerakan tangannya yang mengusap ujung mata; menyeka air mata yang jatuh. Air mata yang mungkin telah tertahan sekian lama. Menunggu bendungan yang mampu meluap sewaktu-waktu. Sebelum kemudian ia melanjutkan luahan rasanya.

"Keadaan, Ra.. keadaan serta sikap dinginmu itu yang menuntutku untuk selalu bersandiwara diatas kenyataan yang ada. Kau bahkan tak menyadarinya, Ra.. bagaimana bisa?"

 "Kata siapa?" aku berhenti sejenak; menghadapkan posisiku tepat di hadapannya. 

"kata siapa, aku bahkan tidak tahu? Kata siapa, aku bahkan tidak menyadarinya? Justru kebodohan yang kau buat-buat itulah yang menjadikan segalanya jelas kentara, tanpa kau sadari. Kau bahkan tidak mampu menangkap bahasa cinta yang disampaikan orang-orang di sekitarmu dengan bentuk yang berbeda. Kau bahkan tidak bisa menangkap bahasa tersirat yang disampaikan mereka, lalu bagaimana kau mampu memahami semuanya? Jika bahkan kau tak mampu memahaminya, bagaimana kau bahkan mampu merasakannya?"

Aku menghela napas. Mengalihkan pandangan dari wajahnya yang mulai sendu. Nampak guratan penyesalan yang muncul diantara kerutan dahinya yang menyatu.

"Kau terlalu asyik dengan duniamu, Cha.." suaraku melunak. 
"Kau terlalu disibukkan oleh perasaan-perasaanmu sendiri. Membuatmu merasa seolah selalu menjadi korban atas semua yang terjadi. Lantas kau berhenti memahami. Berhenti menyeksamai situasi. Kemudian menyalahkan orang lain yang menjadi sebab dari segala kenyataan yang terjadi."

Ia terdiam. Dan aku pun sengaja menahan ucapanku untuk beberapa waktu. Menunggu reaksi darinya.

Hening. Sejenak suasana menjadi lebih dingin dari biasanya. Hanya senyap yang menggantung di udara. Meliputi kesenggangan yang menguasai segala rasa.

"Senaif itukah aku, Ra?" tanyanya getir.

Sekejap, aku merasa bersalah karena membuatnya seperti ini. Bagaimanapun, aku tak pernah benar-benar menganggapnya salah. Hanya sedikit perubahan sikap agar membuatnya menyadari apa-apa yang luput darinya selama ini. Meski tak dapat dinyana, ia menyikapinya hingga sejauh ini.

"Ra, forgive ..." tatapnya dengan bulir yang mengalir dari kedua matanya.

Ah, kau selalu mampu membalikkan keadaan menjadi seperti ini. Membuatku seolah menjadi pesakitan yang terdesak oleh beribu kesalahan. Aku masih terdiam. Pikiranku menerawang jauh ke belakang. Mengingat kenangan kita yang masih saja hangat di ingatan. Mataku menghangat. Dan kemudian menjelma buram dalam dalam beberapa saat.

"Aku merindukanmu, Cha.." lirihku pada akhirnya.

"seberapapun kau melangkah menjauh dariku, adamu tetap serasa dekat di sini. Meski hanya merupa bayang-bayang yang tak lagi dapat ku rengkuh wujudnya."

Ia memelukku erat. Seperti tak ingin melepaskan tubuh kecilku dari peluknya. Seolah takut jika tiba-tiba aku pergi.

"Maafkan aku yang tak mampu menyeksamai segala yang terjadi, Ra... maafkan, karena aku tak mampu pahami bahasa cinta yang diam-diam selalu kau titipkan untukku.." 

Allah, jaga ia.. sayangi dirinya, kumpulkan kami dalam Jannah Firdaus-Mu. Amiin." Bisikku lirih dalam hati. Berharap doa itu mengudara, kemudian berpilin menuju 'Ars-Nya.


__
-zahidaannayra-

Sabtu, 13 Mei 2017

Merayakan Kenestapaan


Menghibur diri adalah jalan terbaik bagi mereka yang tengah patah hati.

Aku memutuskan untuk keluar sejenak dari lingkaran pelik ini. Semua serasa penat. Saling menyalahkan satu sama lain. Tak ada penyelesaian masalah baik dari aku maupun kamu. Kita pada ego masing-masing. Ego yang berusaha membesarkan dan berupaya membenarkan diri sendiri.

Tak ada kamu yang mengalah, terlebih aku. Lagi pula aku sudah berulang kali mengalah pada setiap keadaan. Sekarang saatnya aku mencoba lebih tegas. Bukan bermaksud memperkeruh suasana, aku hanya mengenalkan padamu bahwa aku juga bisa berbuat sepertimu. Menjadi acuh, menjadi bisu, menjadi aku yang selalu tak mau tahu.

Bagiku kamu yang selalu pada kondisi tak mau mengalah. Bahkan kamu beberapa kali menyalahkan aku yang katamu tak sesuai dengan apa-apa keinginanmu. Di mana pengorbananmu?

Aku harus segera keluar dari lingkaran ini.

Ketika sakit tak tertahankan lagi. Ketika harus menanggung beban sendiri. Aku memutuskan untuk sejenak menjaga jarak dengan dirimu. Sebisa mungkin aku menghindari membahas semua tentangmu. Aku harus segera keluar dari lingkaran ini walaupun sulitnya tak terkira.

Merayakan kesedihan, kenestapaan, dan segala hal-hal perih sendiri. Membunuh kesepian dengan menghibur diri lewat banyak hal. Semoga kamu tahu.


Jumat, 12 Mei 2017

Sajak Ini Untukmu




"Apa tulisan-tulisanmu itu masih tentang aku, Ra?" tanyamu waktu itu.

"sebab, jujur, kadang aku merasa ge er dengan kekatamu." lanjutnya sedikit tertawa. Dan aku hanya mampu tersenyum. Tidak mengiyakan, pun menyangkal prasangkamu.

Aku tak pernah yakin, untuk siapa kutulis sajak-sajak itu.  Semuanya mengalir begitu saja. Kadang, akupun tersenyum menuliskan potongan-potongan kisah yang mengalun silih berganti dalam ingatan.

Harus kuakui, kadang kelebat ingatan tentangmu mampu membuat senyumku tertahan beberapa waktu. Hingga kemudian aku tersadar oleh sekeliling yang memandang heran ke arahku. Ah, apa kenangan selalunya begitu?

Ia yang mampu membuat seseorang melambung dengan senyum, namun dapat pula menjatuhkan dalam sekejab mata. Mencipta derai yang tiba-tiba.

Tapi, kamu tak perlu khawatir tentang itu. Selama beberapa waktu, pada akhirnya aku telah mampu memetakan semua kenangan pada posisi yang seharusnya. Tidak berlebih-lebih seperti pada umumnya. Termasuk kenangan kita.

Aku baik-baik saja sekarang. Meski tanpa menghapus semua kenangan yang pernah ada, seperti apa yang kamu lakukan terhadapku.😊 Kau ingat, kan? Terhitung satu jam aku susah payah mencarinya, kemudian dengan sumringah menunjukkan kepingan yang tersisa. Meski kemudian aku baru menyadari; mengapa semuanya seolah lenyap tiba-tiba, begitu saja -karna memang kau menghapus seluruhnya dan hanya menyisakan satu- itu pun kebetulan terlewat, bukan?

Dan kau hanya tertawa menyaksikan tingkahku. -kau tahu? saat itu, ada getir yang menyusup diam-diam; merusak bahagiaku-

Semua ingatan itu masih ada. Tersimpan rapi dalam satu bilik yang bahkan aku jaga baik-baik. Dan aku tak perlu takut untuk mengunjunginya sewaktu-waktu. Sebab, bukan lagi patah, pun kenestapaan yang kubawa menemaniku menjenguknya. Namun penerimaan serta senyum kedamaian yang menjadi penggantinya.

Aku menghargaimu dengan caramu. Dan aku harap, kau pun bisa menerima dan menghargai semua kenangan itu, suatu saat nanti. Entah kapan.
Sebab aku tahu, kau lebih dewasa dari sekedar patah yang menyapa harimu.😊😊

__

-bunga dhuha-
@zahidaannayra




Berdamai dengan Jarak


Aku memutuskan pulang. Setelah semuanya menjelaskan bahwa saat ini dekat adalah fana. Namun aku juga percaya, bahwa jauh akan lebih fana. Ia akan lebur oleh temu yang syahdu. Dan akhirnya sekarang aku memastikan diriku kembali ke rumahku, menutup pintu-pintu untuk sementara waktu yang sesekali mampu membawa ingatanku padamu. Biarlah ia rehat untuk saat ini, untuk sementara waktu.

Terima kasih untuk pertemuan singkat yang membuatku benar-benar ingat. Dia di masa depan katamu adalah balon udara yang terbang mengangkasa, suatu saat akan kembali padamu. Dan kini hanya kota-kota kita yang berjauhan, tubuh kita, tulang yang sering kali kau sebut rapuh, dan hati kita. Hanya mereka yang terpisah, selebihnya kita dekat pada cara kita berdekatan. Unik, semisal lewat sajak tanpa alamatnya yang hanya terpapar pada laman jejaring sosial kita. Ah, bagiku itu sudah cukup melegakan. Setidaknya kamu masih juga menyukai apa-apa yang ku sukai.

Aku selalu percaya dengan hakikat bersyukur. Aku bersyukur menemukanmu waktu itu. Perkenalan tanpa banyak bicara ialah ingatan-ingatan yang menyejukkan. Senyuman jadi kata-kata, dan kata-kata yang urung dibebaskan jadi kekaguman tersendiri. Aku menyukai caramu menyimpulkan sesuatu. Melengkapi pendapatku bagimu jauh lebih menentramkan daripada beradu argumen denganku. Kamu selalu membuatku berdecak kagum, sebab yang ku tahu, sepasang rindu adalah paket lengkap yang saling melengkapi, bukan ajang kompetisi harga diri.

Dan hari ini aku memutuskan untuk benar-benar berdamai dengan jarak. Aku memastikan diriku yang harus selalu berbaik sangka. kamu yang jauh adalah kumpulan urusan yang harus  terselesaikan. Aku juga, kotaku terpisah ratusan kota denganmu sekarang. Namun kamu adalah salah satu alasan bahwa rindu harus tetap ditanam, dan tentunya kamu harus selalu ada dalam ingatan. 




Kamis, 11 Mei 2017

Mengembalikan Hari-Hari




Aku bukan pemain drama, lakon, atau sinetron yang mudah menyesuaikan peran. Hari ini kecewa, esok bisa saja menjadi pemeran utama yang paling gembira. Bahkan, tak selamanya aku menyetujui frase bahwa dunia adalah panggung sandiwara. Atau jangan-jangan kamu menganggap keseriusan yang terus kutekuni hingga sejauh ini ialah sandiwara belaka. Aku serius, dan ini jauh sekali dengan istilah main-main.

Mengembalikan diriku pada awal perjuanganku ialah lebih baik.

Ada satu siasat jitu menurutku untuk lebih bisa menerimamu dalam kondisi apa pun. Ialah mengembalikan hari-hari pada kondisi semestinya. Kecamuk bernama perasaan tak pernah habis untuk dibahas. Ia seperti udara, mengikuti bentuk sekelilingnya. Semakin besar ruangannya, semakin besar pula udara yang memenuhi ruangan itu. Hingga pada akhirnya, untuk menghadapi sekaligus menyiasatinya, aku hanya menyisakan satu ruangan paling kecil di kepala, dan satu bilik paling kecil di hati untuk sebuah benda bernama perasaan itu sendiri.

Aku kembalikan diriku untuk bersikap normal sebagaimana mestinya. Semoga ini yang kamu inginkan. Lagi pula, jika memang kamu tak lagi peduli, tak mengapa. Sebab aku menjadi begini akhir-akhir ini juga atas kemauanku sendiri dan dengan motivasi tersendiri pula. Aku ingin menjadi lebih baik.

Aku melakukannya sendiri, dan itu membutuhkan waktu lama.

Bagaimanapun, aku cukup perasa. Menjadi makhluk dengan perasaan cukup besar membuatku sulit berubah. Aku hampir sering berdiam pada satu titik dengan alasan kenyamanan. Aku kerap mengkhawatirkan jarak, perasaan, bahkan kehilangan. Aku mengkhawatirkanmu yang mudah berubah oleh ruang dan waktu. Padahal perasaan sesungguhnya tak terlalu butuh dua dimensi itu. Menyesakkan memang apabila rasa terkekang oleh ruang atau terbebani oleh waktu.

Mengembalikan hari-hari menjadi seperti ini adalah niatanku sejak lama. Aku menjadi lebih tenang dengan keadaan tanpa tekanan dari siapa pun. Bila rindu berbinar-binar, akan kubiarkan ia berkeliaran bebas di sekelilingku, begitu lebih tak tersiksa.


Pada satu waktu, kita bebas berlari. Menjauh dari ranah nyata dan menepi dari biasanya.


Rabu, 10 Mei 2017

Perihal Ujian



Langkahnya tertatih. Berusaha menyeimbangkan tubuh kecilnya dengan setumpuk cucian yang ia bawa. Sedikit terhuyung, sembari sesekali membenahi pakaian yang terjuntai. Ia sedikit dapat bernafas lega, karena langkahnya kali ini mendahului hujan yang merupa rintik. Belum menderas seperti hari-hari sebelumnya. Meski masih tersisa nafasnya yang tersengal tak beraturan, setidaknya, ia tak lagi harus mencuci ulang pakaian-pakaian yang jatuh tertiup angin dan terhempas oleh hujan deras.

Sudah seminggu ini ia bekerja lebih ekstra, semenjak ayahnya meninggalkan ia dan ibunya tanpa tanggung jawab yang seharusnya dibebankan penuh kepadanya sebagai tulang punggung keluarga. Sementara sang ibu mulai sakit-sakitan, sebab beban kehidupan seolah membayang berat di pelupuk mata.

Betapa ikhlas sungguh tak mudah. Seringkali ia ingin mendesah, ingin mengutuk takdir yang menimpa diri dan kehidupannya.

Betapa berlapang dada sungguh bukan suatu pekerjaan yang mudah. Mengingat betapa banyak beban yang tidak seharusnya ia pikul di usianya yang belia. Masa dimana seharusnya ia bahagia bersama teman-teman sebayanya. Saat-saat indah dimana pertumbuhannya sedang mencapai masa puber yang rentan oleh setiap inchi peristiwa baru yang belum dikuasai olehnya.

Gadis itu meraba perlahan telapak tangannya yang tak lagi halus. Ada perih yang membekas diantara jari-jari mungilnya. Lecet yang membekas lantaran tumpukan cucian yang senantiasa setia menemani hari-harinya.

Kau tahu, bagaimana perasaannya?
Saat ia ingin meluahkan segala rasa, mengutarakan setiap beban yang mendera. Berteriak menumpahkan segalanya atas seluruh kebosanan yang merajalela kelelahannya.
Hatinya ingin berontak, pertahanannya hampir runtuh diluruh ujian yang menimpa kehidupannya. Ia berada di satu titik keterjatuhan yang membawanya pada tebing keputusasaan.

Namun iman di hatinya menahan langkahnya untuk terjun pada jurang putus asa. Ia sebenar sadar, bahwa Allah hanya sedang menguji kekuatan imannya. Seberapa tangguhkah ia? Seberapa kuat pertahanannya?

 لا يكلف الله نفسا الا وسعها

Janji Allah menguatkan hatinya. Ia yakin, Allah lebih tahu akan kemampuan dirinya. Jika Tuhannya saja percaya bahwa dirinya mampu melalui ini semua, mengapa bahkan ia tak yakin dengan apa-apa yang dipercayakan kepadanya?

Secercah cahaya merupa semburat dalam hatinya. Ia sebenar sadar, bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Dunia tempat tinggalnya kini, hanyalah merupakan persinggahan fana. Tempat berteduh dari perjalanan panjang yang sesungguhnya. Dan cobaan yang menimpanya hanyalah sebagian kecil dari ujian yang diberikan untuk menguji ketahanannya, ketangguhan pribadinya, pun keistiqomahan imannya.

Ini belumlah seberapa. Masih banyak manusia di luar sana yang ditimpa ujian yang lebih dari apa-apa yang menimpanya. Gadis itu menghela napas, lagi. Namun bukan lagi nafas keputusasaan, melainkan semangat yang mulai terbit diantara relung hatinya. Seperti cahaya yang menerobos, memberinya kekuatan alamiah dari dalam. Ia sebenar sadar, sebagai seorang hamba, tugasnya hanyalah taat, kemudian bersyukur; bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara sebuah kehidupan yang fana.

__

Seberat apapun itu,
 jangan pernah merasa lemah dengan ujian yang ada
Katakan pada masalahmu, bahwa kau memiliki Tuhan yang Maha Kuasa!

Minggu, 07 Mei 2017

Panggilan yang Terabaikan





Jika kau merasa seolah do'amu tidak diijabah oleh-Nya,
tanyakan pada dirimu;
Sudahkan kau bersegera dalam memenuhi panggilan-Nya?

@zahidaannayra


Adzan maghrib telah usai beberapa menit yang lalu. Namun hingga kini, masjid masih terlihat lengang. Dari sekian banyak manusia, hanya beberapa yang beranjak dari rutinitasnya untuk bersegera memenuhi panggilan-Nya.

Di satu sudut, tampak beberapa yang masih asyik berkumpul. Melanjutkan obrolannya meski telah menjawab lafadz-lafadz adzan yang dikumandangkan. Tertawa tanpa kesadaran untuk segera beranjak memenuhi panggilan-Nya.

Di sudut lain, beberapa remaja masih asyik dengan telponnya. Bercengkrama riang dengan lawan bicara yang entah siapa. Enggan memutus pembicaraan dan menghentikan pembahasan. Tak ingin mematikan telponnya.

Sementara sang muadzin hanya bisa menghela napas panjang, melihat hanya ada segelintir orang yang ada di masjid bersamanya. Muadzin itu tak ingin menunda waktu lebih lama menunggu mereka yang bahkan nyaman dengan kelalaiannya.

Ia beranjak. Mengambil microphone dan mengumandangkan iqomah. Tanda sholat benar-benar akan dimulai. Suaranya lantang. Seakan menjadi ta'kid panggilan sholat bagi mereka yang masih saja sibuk dengan kegiatannya.

Mereka berlarian, segera mengambil air wudhu untuk sholat. Namun, masih saja ada yang dengan santainya tertawa, melenggang tanpa rasa bersalah.

Nastaghfirullahal adzim ...

Panggilan adzan dengan dua kali lafadz yang diulang, layaknya seruan dari Allah secara lembut.

Hayya 'alash sholaaah ...
Hayya 'alash sholaaah ...

Ia menyeru hamba-Nya untuk datang, mengundang kita untuk datang ke hadapan-Nya. Dengan limpahan rahmat dan karunia yang Ia janjikan kepada kita. Menawarkan ketenangan hati yang kita damba, kasih sayang yang kita butuhkan, serta pengabulan untuk setiap doa yang kita pinta.

Adzan, layaknya panggilan cinta dari Allah untuk hamba-Nya. Seolah membisiki lembut telinga kita; Kemarilah, wahai hamba-Ku ... Datanglah dengan segenap harap yang kau punya. Menghadaplah dengan segala kesah yang ingin kau keluhkan. Aku akan merengkuhmu dalam peluk-Ku. Membelaimu dalam sujud panjangmu. Kemarilah, penuhilah setiap hajat yang kau butuhkan atas-Ku.

Hayya 'alal falaah ..
Hayya 'alal falaah ..

Aku tawarkan kemenangan atasmu, hamba-hamba-Ku. Tidakkah kau ingin bersegera?

Namun, hingga lafal penutup adzan dikumandangkan, hanya sedikit dari mereka yang bersegera untuk menyambut kemenangan itu. Memenuhi panggilan cinta dari Sang Pencipta.

Iqomah, seperti panggilan ta'kid, penekanan bagi manusia untuk segera memenuhi kewajiban mereka atas robbnya. Haruskah Allah memangilmu dua kali? Setelah panggilan pertama berupa adzan yang hanya kau anggap sebagai penanda waktu sholat. Bukan sebagai alarm bahwa sudah waktunya bagi kita untuk memenuhi seruannya. Tidak malukah kita?

Nastaghfirullah, wa natuubu ilaiik..

Selasa, 25 April 2017

S.T.E.P



20 tahun, Ra..,
Usia yang tak bisa lagi dikatakan sebagai seorang remaja. Kau telah memasuki gerbang selanjutnya, sebuah fase kehidupan yang baru. Gerbang kedewasaan yang selazimnya berdiri kokoh di hadapan mata.

Kau bukan lagi seorang gadis kecil yang hanya mampu berfikir dalam ranah yang berbatas pada nafsu dan emosi sesaat. Orientasimu kini, bukan lagi pada hal-hal pribadi yang berkisar pada sekedar perasaan semata. Prioritasmu ada pada masa depan yang terletak hanya beberapa jengkal di depan. Bukan lagi berada pada dimensi mimpi yang membuatmu lelap selama beberapa waktu ini.

Kau itu dilahirkan menjadi pribadi yang tahan banting dengan segala ujian. Realita hidup ini keras, Ra... Tak mudah melaluinya. Karenanya, kau butuh akan strategi dan pertahanan yang kokoh. Kau butuh akan mental yang teguh terhadap segala badai yang semakin besar menerpa.

__

Ada orang-orang yang dipaksa jatuh, untuk belajar bagaimana memaknai rasa sakit.
Ada orang-orang yang dipaksa jatuh, untuk belajar bagaimana menahan rasa sakit itu agar tidak menjelma menjadi sebuah keterpurukan.
Ada orang-orang yang dipaksa untuk jatuh, agar ia belajar bagaimana bangkit dari keterjatuhan itu.

Ra, roda kehidupan itu tak akan akan pernah berhenti, selama denyut masih mendetak di jiwa. Dan perjuangan itu tak akan pernah selesai, selama ruh masih menyatu dalam jasad.

Kau tahu, bukan? Semakin tinggi pohon itu menjulang, semakin kuat pula angin yang menerpanya. Ada yang tetap kokoh berdiri. Ada yang terhuyung, kemudian kembali. Namun adapula yang roboh begitu saja.

__

Dua puluh tahun, bukan waktu yang sebentar untuk kamu habiskan di dunia. Udah dapet apa aja selama ini? Apa peran yang telah kau persembahkan untuk agamamu?

Jangan pernah main-main dengan waktu yang telah Allah karuniakan, Ra..
Sebab, jika kau lengah sedikit, saja.. ia akan menjerumuskanmu pada penyesalan di akhirnya.

"Bergeraklah, dan engkau akan dibayar mahal!"

Bukankah itu motto hidupmu?
Bergeraklah, sebab Firdaus-Nya itu, tak mudah untuk untuk diraih!

__

Dear past, 
thank you for all of the lessons
Dear future.
now, I'm ready_ 




-zahida~
#latepost
#reminder

Jumat, 24 Maret 2017

Akhir Dari Segalanya



Kita memperbaiki diri, dengan cara mencintai yang pernah patah.
Dan kita pernah patah, ketika tengah serius mencoba untuk memperbaiki dengan sepenuh hati.

-BK


Jika memang keadaan mengharuskan semuanya berubah menjadi seperti ini, baiklah..
aku akan mencoba untuk beradaptasi dengannya..
Namun, satu yang aku pinta; bolehkah aku tetap merindu, seperti sebelumnya?

Bolehkan, aku tetap mendoamu seperti sebelumnya? Aku mungkin tak lagi berharap apapun dari kamu. Namun, sampai kapanpun, aku akan tetap menggantungkan harap itu padaNya. Sang penguasa setiap hati yang mendetak, mengiring hembusan nafas hamba-hamba-Nya.

“..aku bukannya tak peduli, namun keadaan yang menuntutku untuk bersikap seperti itu..”

Setelah sekian lama rindu itu tak jua menemu jawabnya, pada akhirnya kalimat itulah yang keluar dari hatimu. Meski tak kau lisan secara langsung, semuanya telah kau ungkapkan dalam tulisan yang tersurat untukku.

Berbilang waktu aku menunggu, pada akhirnya, aku memutuskan untuk mundur, dan berhenti. Aku tak lagi berharap menjadi orang yang istimewa buatmu.

Pada akhirnya, kau lebih memilih keegoisan itu tetap ada. Pada akhirnya, kegengsian itulah yang kau pilih untuk kau pertahankan diatas segalanya. Kau lebih memilih keduanya untuk tetap bertahta dalam hatimu.

Aku bisa apa? Selain menerima keputusan yang telah kau buat, meski secara tersirat, bukan?

Semenjak itu, aku sebenar sadar; bahwa sejatinya, aku bukanlah siapa-siapa di matamu. Tak ada gunanya memaksakan kehendak, bukan? Pun tak ada gunanya menyesali semua yang telah terlewat dan terjadi. Ada waktu yang harus kita patuhi ketentuannya. Ada garis yang harus kita tau batasnya.

Mungkin inilah saatnya. Jika kau memintaku untuk pergi, aku akan pergi. Jika kau memintaku untuk berhenti, aku akan berhenti. Aku tak ingin mengganggu lebih jauh kehidupan barumu. Sekali lagi, mungkin kau benar; dunia kita berbeda. Dan rupanya, aku yang harus sering-sering beradaptasi dengannya. Membiasakan hidup dengan keadaan seperti ini.

__

Jangan pernah mencintai orang terlalu dalam. Jangan pernah berharap lebih pada siapapun selain-Nya. Atau kau akan kecewa. Bahkan membenci apa-apa yang kau cinta.

Jangan pula terlalu berlebihan dalam membenci sesuatu. Karena bagaimanapun, segala sesuatu yang berlebihan akan berujung pada suatu hal yang berkebalikan. Percaya atau tidak percaya. Setidaknya, itu pelajaran yang bisa aku simpulkan dari segala hal yang telah terjadi selama ini.

Terimakasih untuk semuanya, dari awal, hingga kini_

Meski pada awalnya, satu, yang paling aku takutkan dari perjumpaan antara kita adalah; kau lupa; pernah sebahagia apakah kita.

__

Well..Baiklah, aku akan belajar untuk bahagia. Dan semoga kau pun juga_ 


#latepost

Jangan Lupa Bahagia


Hasil gambar untuk gambar pelangi

Jangan mengeluh,
kondisimu sekarang, belum ada apa-apanya
dibanding mereka di luar sana_

-zhda

"Prof, setelah semua alasan-alasan yang bahkan kau hadirkan untuk membuatku bertahan, mengapa kesedihan itu tak kunjung pergi jua? Seperti mendung pekat yang enggan pergi. Membawa ribuan ton air yang siap tertumpah kapan saja..." aku menghela nafas panjang.

"Prof, aku lelah ..
lelah menghadirkan berbagai macam alibi yang selalu kau sarankan untuk meniadakakan semua sedihku. Untuk apalagi ini, Prof?"

Sudut mataku meliriknya yang hanya tersenyum tenang. Tanpa sedikitpun terusik denganku yang bahkan hampir berkaca.

"Ra, kamu tahu kan, kalau Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya?"

"Hm?"

"Inget kata Allah dalam firman-Nya; Sesungguhnya, bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Begitupun dengan segala kesedihan yang kau rasa." katanya singkat.

"Maksudnya?"

"Ya Allah, gini deh, orang yang lagi terpuruk. Nggak bisa mikir jernih. Bahkan pada hal-hal yang jelas sekalipun." ujarnya sembari memutar duduk menghadapku.

"Ra, seperti adanya malam dan siang, pun kemudahan setelah adanya kesulitan, sejatinya, Allah sedang menyiapkan bahagia dibalik sedih yang sedang kau rasa.

Kau hanya perlu menyibukkan diri untuk melupakan segala penatmu. Segala sedih dan keluh kesah yang tiap hari kau ucapkan. Apa kamu nggak capek, setiap hari harus menggerutu, merutuki keadaan yang ada?" tanyanya ringan namun menohok kesadaranku.

Aku terdiam. Menyadari kenyataan bahwa aku terlampau banyak mengeluh daripada mensyukuri.Terlalu banyak terpuruk daripada mencoba untuk menerima keadaan, dan beradaptasi dengan kondisi yang ada.

"Prof, apa kau yakin, bahagia itu akan ada?" tanyaku mencari keyakinan dari bening matanya.

Ia  mengangguk mantap.Tersenyum meyakinkan.

"Yakinlah, bahagia itu akan hadir, berjalan beriringan dengan sedihmu. Yakinlah, tapi jangan kau tunggu bahagia itu. Sejatinya, kau sendiri yang akan ciptakan bahagia untuk dirimu sendiri. Maka, ciptakanlah!

Bukan pada kondisi dan situasi yang membuatmu bahagia atau sedih. Namun lebih kepada bagaimana kau menyikapinya. Kaulah yang membuat keadaan hatimu bahagia atau sedih. Sebenarnya, semua itu tergantung pada dirimu sendiri, Ra ..."

Aku terdiam. Mencerna baik-baik setiap kata yang keluar dari lisannya. Merenungi segalanya.

Memang benar, bahagia itu akan ada, jika kau ingin. Begitupun, dia akan pergi jika kau tak lagi membutuhkannya. Setidaknya, itu satu kesimpulan yang bisa aku ambil dari tuturnya.

__

Kamu, jangan lupa bahagia, ya.. :)

Jumat, 20 Januari 2017

Serigala Berbulu Hoax




KIBLAT.NET – Hoax (dibaca howks, bukan hoaks). Menjadi kata yang sering muncul belakangan ini. Apalagi, pemerintah kemudian menggalang masyarakat gelar deklarasi anti hoax di acara Car Free Day tiap akhir pekan.

Kalau tak jeli, isu anti hoax ini terlihat aksi spontanitas masyarakat biasa. Namun jika dirunut secara cermat mengikuti kronologisnya, pelan-pelan kita bisa membaca apa agenda sesungguhnya di balik masifnya gerakan anti hoax.

Seiring dengan geliat aksi 411 dan 212, aparat pemerintah menangkap sejumlah orang terkait aktivitas di sosial media. Seorang guru yang mem-posting status ajakan Rush Money ditangkap. Kapolri pun menebar ancaman. Menurutnya, media sosial berpotensi mengganggu kebhinekaan.

Tak lama, seorang jurnalis Muslim di Solo ditangkap dengan tuduhan pembuat propaganda. Menyusul kemudian, pemblokiran situs-situs Islam. Bersamaan dengan pemblokiran itu, muncul pemberitaan bahwa situs-situs yang diblokir menyebarkan hoax. ‘Umpan lambung’ ini kemudian dikonversi menjadi gol dengan lahirnya gerakan anti hoax.

Motor gerakan anti hoax ini muncul dari social media juga. Ada fanspage Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax, ada juga fanspage Indonesian Hoaxes dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Kemudian muncul situs Turnbackhoax yang turut dipopulerkan media mainstream. Karena sesuatu yang berasal dari sosial media sangatlah terbuka, maka anatomi inisiator gerakan ini juga dengan mudah diungkap.

Gerakan ini cukup sistematis dan terorganisir untuk memonopoli klaim kebenaran di tangan mereka. Secara massif, mereka memonopoli klaim kebenaran dengan kampanye anti hoax dan Tolak Berita Bohong. Apa yang mereka sebarkan diklaim sebagai kebenaran sekalipun mereka juga pernah terjerembab dalam jurang fitnah dan hoax.

Kantor berita Antara, beberapa waktu lalu, sempat tersandung kasus berita hoax. Antara menulis berita dengan judul berita besar-besar: Jokowi Pemimpin Terbaik Asia Australia versi Bloomberg. Setelah dicek dari sumbernya, rupanya tulisan aslinya berjudul” Siapakah yang Mengalami Tahun Terburuk, Dan Bagaimana Mereka Menjalaninya di 2016?

Dari sini terlihat jelas, masifnya upaya gerakan anti hoax ternyata digerakkan oleh pihak tertentu dengan tujuan tertentu. Cara menilainya cukup mudah; Siapa yang paling sering mereka serang dengan tuduhan hoax?

Upaya gerakan anti hoax, jika memang jujur, sejatinya merupakan gerakan moral yang baik. Ajaran Islam punya segudang narasi yang mendukung gerakan anti hoax. 1400 tahun lalu kitab suci umat Islam sudah mengajarkan adab dan tatacara menerima dan menyebarkan berita. Di sisi lain, kita juga turut prihatin dengan marak beredarnya berita-berita menyesatkan di pekarangan sosial media kita. Tentu ini harus dihentikan, tapi harus dengan cara yang tulus dan fair.

Jangan sampai gerakan ini punya niat buruk terselubung bagaikan serigala berbulu domba. Menampilkan kesan mulia dengan mengusung gerakan anti hoax tapi sejatinya menyasar umat Islam. Parahnya lagi, menuding orang dengan sebutan hoax tapi tak berkaca kalau dirinya kerap menebar fitnah.

Kita, Rindu, dan Takdir Yang Baru




Ada getir yang menggores dinding hati. Seperti setetes keruh yang tiba-tiba bercampur dalam bening.

Aku kini sebenar sadar. Tak ada gunanya aku membicarakan semuanya di depanmu. Berkisah tentang luka, bertutur perihal rasa. Kau bukan lagi layaknya dinding yang nyaman untuk bersandar. Meski hanya untuk melepas lelah sejenak. Bertutur perjalanan panjang penuh aral yang melintang.

Kau, bukan lagi tempat nyaman untuk melepas penat, mencurahkan segala yang terjadi dalam hari-hari. Mungkin aku terlambat menyadari. Dan kudapati dinding itu telah penuh dengan goresan yang memerih.

Aku sebenar sadar, energi positif itu tak lagi tersisa untukku. Bahkan sedikit saja. Tak ada guna untuk bercerita. Karna apapun yang tercurahkan, hanya negatif yang ada dalam pandangmu.

---
Mengapa susah sekali merelakan semua yang terjadi? Menyadari kenyataan bahwa tak akan ada lagi yang sama seperti adanya. Aku tak ingin membenci, namun kau membuatku melakukannya. Aku tak ingin mendesis kecewa, namun kau menyulut semua kekesalan yang ada.

Pertahananku mungkin bisa dibilang hampir mencapai puncaknya. Aku terlambat menyadari bahwa dunia kita sekarang berbeda. Tidak lagi sama seperti apa yang pernah kita jejaki bersama. Dan itu tak bisa dipungkiri. Bagaimanapun kita bersikeras untuk menghadirkan berbagai alasan untuk menyangkalnya.

Kau ada pada duniamu. Kehidupan barumu. Beserta orang-orang baru yang hadir dalam episode baru kehidupanmu. Aku pun mungkin juga begitu. Sekeras apapun kita berusaha untuk kembali, mungkin waktu itu akan habis, hanya untuk sebuah kesia-siaan yang tak berarti apa-apa.

Takdir itu telah menjelma niscaya. Dan kehidupan akan terus berlanjut. Tak akan berhenti barang sedetikpun, meski kau (atau mungkin aku) tak menghendaki alurnya.

Tiba-tiba, aku merasa dilema. Jika Tuhan memberiku kesempatan untuk memulai semuanya dari awal, aku ragu: akankah aku senang, atau bahkan memilih untuk tak mengenalmu, sama sekali?


__

Jumat, 06 Januari 2017

Berdamai Dengan Takdir



Hasil gambar untuk gambar jalan

Diam, atau berbalik.
Dua pilihan yang ada di tanganmu.
Hadapi, atau hindari.
Pastikan kau tak akan menyesal di akhirnya!

@zahidaannayra_

Kawan, hidup ini tidak selalunya berpihak pada kita. Kadang kita perlu mengalah akan setiap realita yang terjadi. Membiarkannya mengalir sesuai taqdirnya. Kita hanya perlu mengikuti alurnya. Melihatnya dengan seksama. Kemudian menikmati setiap episodnya.

Kau pernah, berada dalam situasi yang sama sekali tidak kalian harapkan? Berada di tempat yang tidak tepat, dalam kondisi yang tidak pas, bersama orang-orang yang sama sekali tidak tepat untuk kita temui pada saat itu; menurut kita.

Orang-orang yang hadir di sekeliling kita pun, tidak selalunya mereka yang kita harapkan. Seringkali Allah sengaja menghadirkan orang-orang tak terduga di setiap kesempatannya. Kita tak pernah tahu apa maksudnya. Bahkan ketika kita sama sekali tak ingin bertemu dengan mereka. Mereka ada, hadir, dan bersinggungan dalam hari-hari.

Kesal, itu pasti. Perasaan yang wajar adanya. Kita tak ingin, namun Ia ingin. Kita tak senang, namun ini kehendak-Nya. Serasa ingin menghindar, namun tak kuasa. Pernah?

Itulah jalan yang harus kita lewati. Kita tidak akan mampu mengatur siapa orang-orang yang ingin kita temui, atau siapa yang tidak ingin kita jumpai  dalam sebuah jalan umum, bukan? Apalagi melarang sang pemilik jalan untuk membatasi sesiapa yang boleh lewat di jalan itu. Siapa kita?

Pasti ada manusia-manusia baru yang akan kita temui dalam perjalanan. Atau bahkan, kita akan menjumpai mereka yang pernah ada? Meski jalan yang kita lalui bukan jalan yang sama, bukan sebuah kemustahilan kita akan bertemu dengan mereka yang dulunya pernah hadir, kan?

Bahagia? Mungkin iya. Karena kita merasa memiliki teman di ranah yang baru. Di jalan yang mungkin masih terasa asing. Namun, apakah dari semua yang dipertemukan kembali merasakan kebahagiaan yang sama?
Tidak juga.

Sekali lagi, mereka tak ingin. Namun Allah ingin. Mungkin hati mereka tak berhenti bertanya; mengapa harus dia? Haruskah aku menjalani takdir yang sama; mengulang cerita yang pernah ada? Sejatinya, itu semua tergantung pada diri kita sendiri. Akan bagaimana kau menyikapi realita yang ada? Bagaimana kau akan menghadapi takdir yang sudah mulai diputar dalam episode kali ini. Bersama orang sama, dalam waktu dan tempat yang berbeda. Tinggal bagaimana kita akan mengambil peran di dalamnya. Sekali lagi, itu semua tergantung kita. Dan tentu saja takdir tetap akan berjalan di atasnya.

Kisahmu mungkin belum selesai di masa lampau. Dan Allah ingin kau menyelesaikannya di sini. Di persimpangan jalan yang baru. Menuntaskan apa yang telah kau mulai, namun belum juga selesai. Kisahmu mungkin masih menggantung. Dan bukankah ini waktu terbaik untuk menyelesaikan semuanya? Tunggu apalagi? Selagi kalian masih berada di jalan yang sama.


Kenapa? Bahkan kau tak ingin menyelesaikannya? Membiarkan semuanya menggantung tanpa ending yang jelas?

Jangan jadi pengecut! Karena berbagai alibi yang kau pertahankan, hanya akan membuktikan bahwa kau melarikan diri dari masalah yang sejatinya kau buat sendiri.

Face it!

Don’t Escape!

Percayalah, ceritamu akan menjadi lebih indah jika kau mampu menyelesaikannya. Allah selalu punya alasan mengapa Ia menuntunmu pada jalan ini. 
Kau penasaran? Jalani saja. J