Minggu, 27 Januari 2019

Istiqomah part 2



Aku teringat akan seorang sahabat nabi yang bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam; “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, yang mana saya tidak perlu menanyakannya kepada oranglain.”

Rasulullah menjawab; “Qul amantu billahi tsummastaqim.”
Katakanlah bahwa aku telah beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah. (HR. Muslim)

Kalimat itu singkat dan pendek untuk disampaikan. Namun tahukah, kalimat yang singkat itu sejatinya telah mengandung makna berislam secara keseluruhan. Singkat. Namun pengamalannya tidaklah sesingkat mengucapkannya. Butuh realisasi seumur hidup untuk menjalankannya.

Ya, sama sekali nggak gampang. Dan Rasulullah tahu benar akan hal itu. Maka, Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika ada yang bertanya; “Wahai Rosulullah, amalan apa yang paling baik dilakukan?”

“Amalan yang dikerjakan terus menerus meskipun sedikit.“ jawab Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tak perlu muluk-muluk, namun konsisten untuk menjalankannya menjadi lebih baik, daripada banyak namun cuma sekali. Lebih baik lagi banyak, namun konsisten.

Karena tak mudah, Allah tak pernah memaksakan hamba-Nya dengan mewajibkan amalan yang banyak secara terus menerus. Sebab Allah tahu, manusia itu tempatnya bosan dan lalai. Butuh azzam yang kuat untuk melazimi suatu amal baik.

Karena iman itu fluktuaktiv. Nggak stabil. Banyak futurnya daripada semangatnya. Lebih sering yangqus, daripada yazid-nya.

Maka, bertahap saja. Pelan-pelan. Kalau udah mulai terbiasa, frekuensinya dinaikkan. Sedikit-sedikit. Dilazimi. Nggak usah berlebihan, takutnya nanti ketika futur, imannya lagi low, malah ditinggalkan sama sekali.  Terus harus ngulang dan mulai dari awal lagi. Padahal untuk memulai lagi, itupun perlu perjuangan sendiri.

Berat, tapi nggak papa. Bukan berarti nggak bisa. Awalnya mungkin memang terpaksa, lama-lama terbiasa, terus jadi hobi. Kemudian mengendap tanpa sadar. Hingga bermetamorfosa menjadi sebuah karakter dan akhlak. Biidznillah..
__
#day15
#30haribercerita
@zahidaannayra_

  

Istiqomah part 1



Ternyata, istiqomah itu nggak gampang ya? Untuk konsisten terhadap satu hal, terlebih satu pekerjaan selama terus menerus itu sama sekali nggak semudah bayangan awalnya.

Contoh kecil yang sedang aku alami adalah, di program #30haribercerita ala aku sendiri, sekarang harusnya udah sampe hari ke 15 dari 30 hari rencana posting everyday. Tapi kenyataannya?πŸ˜•

Postingan aku baru sampe di hari ke 13. Itupun aku rasa banyak banget yang mayoritas kerjanya marathon. Lihat aja tanggal yang tertera, sering aku posting dalam sehari dua, atau bahkan tiga. Daripada tepat waktu, aku lebih sering qadha’.πŸ˜”

Adaa aja alesannya buat nggak nulis dalam sehari. Belum ada idelah, nggak mood lah, banyak tugas lah, nggak ada waktu laah..πŸ™‡

Ah, kadang capek sendiri sama alibi-alibi yang terus menerus dihadirkan sama diri sendiri; seorang cewek labil dan mood-mood-an alias moody. Nggak kehitung udah berapa kali aku berniat berhenti dari program #30haribercerita ini. Karena memang banyaknya tugas kuliah, makalah, turats dan lain sebagainya yang juga menguji kesabaran di setiap harinya.

Kalo udah ngadep laptop, rasanya seolah-olah semuanya melambai-lambai minta disambangi. Dan akhirnya lihat laptop pun bawaannya jadi horror.😩

But, the show must go on, right? Kalo dihindari terus, yang ada semuanya justru tambah numpuk dan nggak akan ada habisnya. Kalo cuma dipikirin tanpa mau gerak dan action buat nyelesaiin satu satu, kapan selesainya?

__

Seringkali manusia terlalu disibukkan oleh pikiran-pikiran terhadap masalah yang ada, tanpa memikirkan jalan keluar dan penyelesaian dari masalah itu sendiri. Sehingga bukan titik terang yang didapatkan, tapi justru pening dan stress berkepanjangan yang semakin menggentayangi otak dan pikiran.

Akhirnya, meskipun jatuh bangun, tersaruk-saruk, sampe ngesot-ngesot, aku memutuskan untuk tetep berjuang menuntaskan apa yang udah aku mulai. Meskipun kelihatannya masa 30 hari yang sejatinya tinggal tersisa setengahnya lagi itu terjal pake banget prosesnya dan mungkin sering terpaksa harus rapel postingan, no problem lah. Better yes than not at all, right?

Daripada aku berhenti terus sama sekali nggak nulis, atau mungkin tetep nulis tapi nggak terkontrol, lebih baik dilanjutkan apa yang udah setengah jalan ini, kan? -ngomong sama diri sendiri-

Jujur aja, adanya program #30haribercerita ini seakan menjadi pendorong sekaligus tuntutan bagi otak untuk terus memproduksi ide untuk dituangkan. And honestly it’s not easy at all. Butuh kesabaran ekstra –buat aku- untuk tetap konsisten pada jalan yang udah aku putuskan untuk melaluinya. Jadi, nggak tanggung jawab banget kalo akhirnya aku ambil langkah  cut and bear it in the middle of the road. Its’not responsible, dude! –masih ngoceh sendiri-

“Sekarang rajin posting ya Kak, jadi semangat baca blog Kakak lagi..”

“Lagi nulis yaa, aku tunggu postingan selanjutnya ya..”

“Masya Allah ya kamu, tugas kuliah bejibun gini, masih aja rajin posting.”

“Semangat ya, aku tetep stay dan baca tulisan-tulisan kamu kok.”

Aahh, terima kasih buat kalian semua yang udah jadi penyemangat di sela-sela perjuangan dan uring-uringan aku masa-masa ini. Adanya respon dan komentar dari pembaca itu udah jadi satu suntikan tersendiri buat aku untuk tetep nulis on the track, meskipun harus ugal-ugalan like this. Setidaknya, masih ada alasan bagiku untuk tetap posting di setiap harinya.πŸ’–

Jadi, readers yang kucintai..πŸ’πŸ˜

Jangan pernah bosen buat mampir kesini ya. Kasih komentar yang membangun untuk setiap tulisanku yang masih alakadarnya ini. Siapa tau mampu menjadi perbaikan bagiku kedepannya.

Tanpa kalian, tulisanku tak akan bermakna apa-apa, pun tak bermanfaat bagi siapa-siapa -selain diriku sendiri-. Saran, masukan dan kritik dari kalian adalah suatu hal yang selalu aku tunggu-tunggu kehadirannya. Jadi, jangan pernah bosen ya..


Luv u..

-zahida-

__
*btw, jangan sungkan-sungkan buat ninggalin komentar ya.. sekedar say hi juga aku udah bahagia kok..πŸ˜„

#day13
#30haribercerita

Sabtu, 26 Januari 2019

Episode Baru


"Ketika menikah nanti, apa kau akan memberitahuku?"

"Tidak."

"Kenapa?" tanya perempuan itu mengerutkan kening.

"Karena kita akan merencanakannya bersama." jawab Arya sambil tersenyum.

Senyum yang selalu mampu mencipta debar di hati Ara. Senyum yang diam-diam selalu mampu menerbitkan bunga-bunga harapan di hati perempuan itu.

Ara tersenyum tanpa sadar mengingat potongan kecil kenangan mereka. Sekilas, senyuman Arya melintas di pikirannya. Hanya selintas, namun berhasil mencipta denyut yang tak biasa. Masih sama seperti ketika senyum itu hadir membersamai hari-harinya, dulu.

Ia tersadar sebelum terlambat. Segera ia tepis bayang-bayang kenangan yang sempat membuatnya hanyut dan terlena. Kisahnya bersama Arya mungkin tak sesuai dengan bayangan keduanya. Bagaimanapun, manusia mempunyai jalan takdir masing-masing yang tak dapat dipaksakan adanya.

Episode itu telah lewat. Dan kenyataan hidupnya sekarang ada di depan mata. Sudah seharusnya ia menepis jauh-jauh masa lalu yang sempat membuatnya hampir berputus asa.

"Mama..." Reina masih dengan balutan handuknya berlari memeluk Ara.

"Sayaaang, jangan dulu peluk mama, nanti baju mama basah. Yuk ganti baju dulu sama papa." Rafa menggendong Reina dan menempatkan di punggungnya.

Ara tersenyum melihat lelaki itu basah hampir sebagian besar bajunya. Hari ini ia memaksa lagi untuk mengurusi Reina dari pagi hingga sore. Termasuk memandikannya. Selagi libur, katanya.

Rafa, seorang lelaki sederhana yang dengan kesantunannya mampu menarik hati kedua orangtuanya. Meski di awal Ara berontak dengan jalan hidupnya, namun akhirnya ia memilih untuk mengikhlaskan. Perempuan itu mencoba untuk membuka hatinya; memberi kesempatan lelaki pilihan kedua orangtuanya untuk menjadi pendamping hidupnya. Membersamai hari-harinya setelah patah yang nyaris membuatnya putus asa.

"Aku tahu, hatimu belum seutuhnya memilihku. Namun aku akan tetap mencoba membahagiakannya." bisik Rafa sesaat setelah airmata Ara tumpah di hari pernikahan keduanya.

Lelaki yang bukan siapa-siapa itulah yang pada akhirnya mampu menutup luka di hati Ara. Membawa babak baru dalam kehidupan bahagianya. Hingga kemudian lahirlah Reina; putri cantik yang akhirnya hadir; menggenapkan bahagia keduanya.

__

"Remember him anymore?" tanya Rafa yang tiba-tiba telah ada di sampingnya.

Ara tergagap. Kemudian menggeleng cepat. Rafa tersenyum, kemudian mengambil undangan biru di tangan Ara.

"Kamu selalu gagal dalam berbohong, Ra.." ujarnya sambil membenahi undangan yang koyak bekas genggaman Ara.

Perempuan itu merasa bersalah. Ia memang sempat terkenang sesaat dengan kehadiran undangan Arya yang ditujukan untuknya. Mereka dulu pernah berencana untuk mendesain undangan pernikahan dengan nuansa biru. Dan ternyata Arya benar-benar merealisasikannya. Meski bukan nama Ara yang tertulis bersanding dengan namanya di dalam sana.

"Tak apa, akan selalu ada masa bagi tiap manusia terkenang dengan apa-apa yang pernah singgah di hatinya. Terlebih, pada ia yang bahkan telah memahat prasasti di dalam sana." 

Kata-kata Rafa sukses membuat pertahanan Ara runtuh. Air matanya kembali luruh. Rafa memeluk istrinya lembut. Ia tahu, tak mudah bagi Ara melupakan begitu saja seseorang yang telah begitu lama membersamainya. Terlebih kemudian ia pergi begitu saja tanpa kata.

"Maafin Ara, Mas.." kali ini, bukan luka yang membuat Ara menangis. Namun ketulusan dan kasih sayang Rafalah yang seolah menjadikannya seorang pesakitan tanpa makna. Lelaki itu anugrah terindah dalam kehidupan Ara. 

"Makasih, Mas, sudah datang di waktu yang tepat. Ara janji akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Rafa, dan ibu yang baik untuk Reina.." Ara memeluk suaminya erat. Lelaki itu adalah surga baginya. Dalam hati, perempuan itu berjanji akan belajar mencintainya seutuhnya.

__
#day12
#30haribercerita
@zahidaannayra_



Kamis, 24 Januari 2019

Sebuah Petuah



Sebuah petuah;

Nak, dalam hidup ini;
akan selalu ada orang-orang yang tidak suka melihatmu bahagia
akan selalu ada orang-orang yang mencemooh atas karunia yang dianugrahkan untukmu 
akan selalu ada orang-orang yang memandang sinis kebahagiaan yang kau punya

Tak apa,
jangan pernah berkecil hati
Kau hanya perlu bersyukur atas tiap nikmat yang telah kau terima
Kau hanya perlu bersyukur atas tiap bahagia yang Allah anugrahkan untukmu

Jangan heran, sebab akan selalu ada orang yang berusaha merusak bahagia yang kau punya, 
bahkan menjatuhkanmu di depan banyak manusia

Kau hanya perlu sedikir tegar dan bersabar 
Sebab Allah selalu ada di sisimu
dan janji-Nya tak pernah alpha akan Jannah Firdaus-Nya

Nak,
tetaplah berbahagia
sebab ini hidupmu, bukan hidup oranglain_.

__
@zahidaannayra_
#day11
#30haribercerita

Menimbang Syukur


Kadang, kita terlampau naif dengan merutuki hal-hal kecil yang dimiliki orang lain namun tidak kita miliki.Untuk kemudian lupa, bahwa banyak kesyukuran yang terlewat atas nikmat yang berlimpah, namun seolah sirna.

Sebab kedengkian dalam hati telah mendominasi tanpa kita sadari, hingga menjelma menjadi gumpalan hitam yang menurunkan hujan kenestapaan. Seakan-akan hidup kita paling menderita dibanding yang lainnya. Seakan-akan beban hidup kita lebih berat dari yang lainnya. Kemudian berpikir, bahwa Allah tidak adil terhadap hamba-hamba-Nya. Allah pilih kasih dalam menetapkan rizki dan nikmat untuk manusia.

Duhai, cobalah sejenak kita menutup mata. Rasakan betapa dunia gelap tanpa cahaya jika kedua bola mata ini tidak lagi Allah kehendaki untuk melihat indahnya dunia. Cobalah hirup dalam-dalam udara yang tidak ada batas dan bayarannya sepanjang detiknya. Bayangkan jika tiba-tiba Allah menjadikannya berbayar atas setiap oksigen yang kita butuhkan setiap harinya. Tentu banyak manusia yang tak akan bertahan lama hidup di dunia.

Duhai, lupakah kita akan nikmat mendengar, merasakan, nikmat sehat, kesempatan hidup, bahkan nikmat terbesar yang kita punya; iman dan islam yang masih melekat dalam kehidupan? Tidakkah kita lihat sekeliling; orang-orang yang menyayangi tanpa tendensi, mereka yang hadir membersamai hari-hari-hari? Bukankah itu semua nikmat tiada terperi?

Itu semua yang ada, dia pun juga punya. Lihatlah, dia begitu sempurna; tiada kurang suatu apa.

Ya, kamu merasa kurang, karena memang kamu kurang syukur. Kamu hanya hanya memandang sebuah kenikmatan dari segi banyak-sedikitnya materi yang ada, atau prestasi dan tampilan yang seolah-olah sempurna tanpa cela. Kamu merasa kurang karena kamu sibuk membandingkan kenikmatan-kenikmatan yang kamu miliki dengan apa-apa yang orang lain punya.

Sedang kita tidak pernah tahu, berapa malam yang mungkin mereka lalui dengan peluh dan perjuangan panjang untuk sampai di titik yang bagi oranglain mengagumkan dan menjadi impian.

Sadarkah, sampai kapanpun kita tidak akan pernah merasa puas dan cukup jika terus melihat ke atas. Cobalah sejenak merunduk; melihat mereka yang ada di bawah kita. Membayangkan seandainya kita ada di posisi mereka. Bayangkan jika suatu saat Allah menimpakan keadaan yang lebih buruk dari sekarang. Apakah semua nikmat yang kita punya harus diambil dulu, lantas kita baru mau bersyukur dan menyadari, bahwa karunia-Nya tak ternilai harganya?

Lainsyakartum la'aziidannakum Wa lainkafartum inna 'adzabii lasyadiid..

Mari merenungi, mari bermuhasabah diri. Sudahkah kita bersyukur hari ini?

__
#day10
#30haribercerita
@zahidaannayra_

Senin, 21 Januari 2019

Membiarkanmu Pergi.. (lagi)


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tak ingin masuk dan ikut campur dengan urusan dan kehidupanmu. 
Untuk pertama kalinya, aku ingin berpura-pura -menahan lebih tepatnya- untuk tidak lagi masuk ke ranah perasaanmu. Yang memang kenyataannya tidak ada lagi peranku di dalamnya. Lalu, untuk apa aku harus masuk dan menyelam kembali?

Aku sudah cukup dibiarkan berenang ke tepian sendiri. Menerjang ombak yang bahkan berkali-kali menghempaskan aku yang rapuh. Tak peduli berapa kali ombak menjauhkanku dari daratan yang kutuju, kau pun acuh;  tak peduli.

Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama membersamai; berenang dan menyelami kehidupan ini bersama, aku mencoba menahan diri untuk tau perihal gerimis yang hadir siang tadi. Aku mencoba menahan diri, meski seluruh tanya berkecamuk dalam kepala. -dan lagi, aku menyesal ketika tanya itu pada akhirnya tak mampu kubendung dari sanubari-. 

Baru kali ini aku menyesal memberikan simpati (lagi) pada dukamu. Sebab lagi lagi, hempasan keras yang pada akhirnya melukai (lagi) kudapatkan dari hasil peduliku akanmu.

Aku menyesal, karena sebenarnya kesadaran itu ada; bahwa bukan aku (lagi) yang kau butuhkan untuk ada di sisimu. Bukan aku (lagi) yang kau butuhkan sebagai tempat melepas segala tangis dan laramu. Bukan aku (lagi) yang kau butuhkan untuk meredam amarah, sedih, bahkan tangismu.

Aku sebenar sadar, meski hati tak semudah itu dikendalikan. Hanya bingkai usang sebuah kenangan yang kini perlahan menjadi abu dalam bara api yang kau ciptakan.

Maaf jika setelah ini aku (terpaksa) berhenti untuk peduli. Maaf jika setelah ini aku (mencoba) menutup hati. Karna aku tak ingin menjadi ‘yang terakhir dicari’ ketika tidak ada lagi dirinya yang kau butuhkan untuk bersandar di sisi.

Aku ingin, namun di sisi lain aku egois terhadap diri sendiri. Aku egois terhadap diriku yang kulukai dan kubiarkan jatuh berkali-kali. Aku ingin, namun berarti aku harus membunuh hatiku pelan-pelan setiap hari. Aku ingin, namun kemudian tersadar; bahwa diriku lebih patut untuk kucintai.


Pada akhirnya, aku lebih memilih untuk melepasmu (kembali); membiarkanmu pergi..
__
-noteofyou-
.20 Jan 19.
#day9
#30haribercerita

Minggu, 20 Januari 2019

Loyal, Namun Tetap Rasional



Jangan sampai loyalitasmu terhadap sesuatu (atau mungkin seseorang) lantas menjadikanmu lalai akan kewajiban yang seharusnya kau penuhi.

-zahidaannayra-
__
Kadang, kita terlalu egois terhadap sesuatu. Mementingkan suatu hal yang menurut kita prioritas, namun ternyata hanyalah ego dan keinginan hawa nafsu semata. Hingga akhirnya rela melepaskan kewajiban yang seharusnya kita penuhi, perintah yang semestinya dipatuhi, atau mungkin tugas yang seharusnya kita tunaikan sesuai dengan waktu yang diberikan.

Kita tidak tahu, mungkin keegoisan itu nantinya akan menjadikan kita pribadi yang sulit untuk menepati janji. Sebab komitmen kita terhadap sesuatu merupakan janji tak tertulis kita akan sesuatu tersebut. Sepele memang, namun tanpa sadar akan menyeret pada hal-hal yang lebih besar kedepannya.

Dimulai dengan janji kita terhadap diri sendiri, kemudian merambah pada lalainya kita terhadap janji atas orang lain, lembaga, hingga –naudzubillah- janji kita terhadap Allah dan Rosul-Nya.

Readers,

Melawan ego untuk tidak mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu memang bukan suatu hal yang mudah. Namun berusaha untuk menjadi orang disiplin adalah salah satu usaha untuk menjadikan ego itu terkalahkan, demi ketaatan kita akan suatu hal yang lebih besar dari sekedar perasaan pribadi dan hawa nafsu sendiri.

Memang, selalu ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk menjadi pribadi yang mampu bergerak melawan arus egoisme. Kemudian meletakkannya di bawah ranah prioritas. Tentunya prioritas umum, bukan pribadi.

Sebab, ada kalanya kita harus idealis, namun tidak menjadikan kita lupa akan hal-hal yang logis dan rasionalis.
__
@zahidaannayra
Ahad, 20 Januari 2019
#day8
#30haribercerita



Membenci Karna-Nya


Jangan benci orangnya, tapi bencilah keburukannya.
Jangan benci pribadinya, tapi bencilah perilakunya.

-zahidaannayra-

Jika seseorang telah berbuat baik di hadapanmu, namun kau masih saja menghindar darinya, bisa jadi kau tidak hanya membenci keburukannya, namun juga orangnya.

Nggak gampang memang. Saat kita dituntut acuh pada suatu hal yang membuat kita tidak suka, dan itu melekat pada diri seseorang. Bahkan ketika ia sedang berbaik hati pada kita suatu waktu, namun justru yang tertampak di depan mata adalah negatifnya saja.

Ya, sebab seringkali kita membenci suatu keburukan yang ada padanya, lantas menjadikan segala hal yang ada pada dirinya adalah sebuah negatif yang membuat kita muak dengan segala tingkahnya.

Jika membenci, maka bencilah karena Allah saja.

Bagaimana membenci karena Allah? Ya, tentunya dengan membenci keburukannya. Bukan orangnya. Ketika ia berbuat baik, maka sudah selayaknya kita membalasnya dengan kebaikan pula. Satu keburukan itu, tidak lantas menjadikan kita menutup mata dari hal-hal baik yang ia punya.

Kita marah pada tempatnya. Tidak suka pada tempatnya. Dan membenci pada saat ia melakukannya. Bukan memukul rata pribadinya yang juga manusia biasa. Tetap ada hati nurani yang mendorongnya melakukan kebaikan yang bahkan mungkin tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang-orang sepertinya.

Jangan memandang rendah terhadap sesuatu, lantas meremehkan kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukannya. Bisa jadi, justru kesombongan yang muncul, serta rasa ‘lebih baik darinya’ yang terbesit dalam hati itulah yang mampu membakar seluruh amalan yang kita punya, lantas menjadikan kita seseorang yang lebih rendah darinya di mata Allah Ta’ala. -na'udzubillahi min dzalik-

Sekali lagi, manusia hanya mampu menghukumi seseorang dari dhohirnya. Untuk derajat taqwa, hanya Allah yang tahu kedudukannya. Bukankah terlalu lancang jika kita menghukumi pribadi dan amalan seseorang hanya dengan melihat luarnya saja?
Nas’alullahal ‘afiyah.
__

@zahidaannayra_
#day7
#30haribercerita

Jumat, 18 Januari 2019

Sekeruh Prasangka



Kamu terlalu sibuk berpikir bagaimana orang lain bersikap kepadamu. Sehingga lupa bagaimana harus menyikapi semuanya dengan tepat. Kamu sibuk dengan bagaimana agar sikapmu terlihat baik di mata mereka. Hingga kadang lupa perihal apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya dihindari.

Kamu terlalu berkutat pada prasangka-prasangka yang sejatinya kau ada-adakan sendiri. Terlalu memandang negatif atas sikap orang-orang di sekitarmu. Menganggapnya hanya bermanis muka dengan basa-basi yang membuatmu semakin muak, meski senyum manis terlukis di wajahnya.

Kamu terlalu sibuk menganggapnya bersandiwara. Meski nyatanya kehidupan ini adalah panggung sandiwara. Namun, apatah salahnya jika kita memilih untuk berpikir positif atas semua sikap yang ada? Bukankah dari pikiran positif itu akan melahirkan tindakan yang positif pula?

Duhai, dunia ini tidak akan ada habisnya jika kita sibuk dengan ketakutan-ketakutan yang sejatinya kita buat-buat sendiri. Takut jika orang lain tidak suka, takut jika orang lain marah, takut jika apa-apa yang kita perbuat menuai komentar sinis dari mereka.

Wahai, sebenarnya untuk apa kita hidup? Untuk siapa kita hidup? Yang paling penting, ini hidup siapa; kamu, atau mereka?

Sadarlah, sampai kapanpun kita tidak akan menjadi diri sendiri, jika orientasi kehidupan dan perbuatan kita setiap detiknya semata-mata hanya untuk menuai ridha manusia. Tidak akan ada habisnya jika kemauan manusia selalu kita kedepankan atas hal-hal prioritas lainnya.

Tahukah, bahkan sebaik apapun manusia di dunia ini, akan selalu ada pembenci yang menyertai setiap kebaikan yang diperbuatnya.

Jadi, tak ada gunanya bersandiwara di atas kepayahan diri sendiri demi manusia. Karena niatmu tak akan bernilai apa-apa di mata-Nya. Justru usahamu beterbangan bagai debu dalam timbangan mizan-Nya; cacat tanpa makna. Na'udzubillahimindzalik..

__
@zahidannayra_
#day6
#30haribercerita

Jodoh Orang Lain


“Kamu takluk banget ya, sama dia..”

“Hm?”


“sampe rela berkorban, ngalah sampe segitunya, ngelakuin  apa yang dia mau. Apa harus sejauh itu?”

__

Ya, kadang memang begitu realitanya kalau orang udah jatuh cinta. Sadar atau tidak, seakan ia telah memutuskan untuk merelakan dan mempercayakan separuh hatinya, atau mungkin seutuhnya untuk ‘dia’. Bahkan hal-hal di luar nalar pun seringkali mampu dilakukan, jika yang meminta adalah si dia.
Sampe rela ngorbanin kepentingan diri sendiri untuknya. Meluangkan waktu kapanpun dia minta.

Ya, kalau itu sama suami sih nggak papa. Justru menjadi ladang pahala. Dan malah hal itu menjadi tugas dan kewajiban yang memang dan harus selayaknya dilakukan oleh istri terhadap suaminya.

Kalau bukan?

Ah, alangkah ruginya hidupmu. Untuk apa berbuat sedemikian jauhnya namun tidak berarti apa-apa bagi diri sendiri dan kehidupanmu.

“Ya, itu namanya setia.”

Setia kepada siapa? Setia sama calon pasangan orang lain? Toh belum tentu juga nantinya ia akan jadi pasangan kamu, kan? Waah, jangan terlalu baik sampe mau njagain calon pasangan oranglain say. Nanti nyesel loh..

“Ya, kan bisa jadi juga dia nanti jadi pasangan kita. Namanya juga ikhtiar.”

‘Bisa jadi’ itu berarti belum pasti, kan? Kenapa nggak lebih milih untuk melakukan hal-hal yang pasti-pasti aja sih untuk hidup ini? Memantaskan diri misalnya. Memperbaiki diri untuk bersanding dengan orang yang memang pasti menjadi pendamping kita nantinya. Dan tentunya kepastian itu akan menjadi nyata setelah akad terlafadz. Bukan praduga yang sejatinya kita hadirkan sendiri. Itu baru namanya ikhtiar.

Toh jodoh tidak akan tertukar, bukan? Lalu, mengapa kita tidak memilih untuk percaya?
__

Duhai, hidup ini cuma sekali, and everyone know about it. Tapi justru kebanyakan dari kita lebih memilih untuk pura-pura nggak tahu tentang hal ini. Sehingga kesenangan dan kebahagiaan dunialah yang seringkali dipilih menjadi orientasi hidupnya. Bukan akhirat yang akan menjadi tempat berpulangnya.

“Ada kebahagiaan tersendiri tau, bisa bikin dia bahagia.”

Yes, I know exactly. Itu dia. Kebahagiaan itulah yang terus menerus ditiupkan setan agar kita betah berlama-lama. Hingga kemudian menjadi candu untuk terus melakukannya.

Kamu lupa, kalau setan pinter banget mengemas kemaksiatan dengan bingkai yang indah? Sampai-sampai orang yang melakukannya pun nggak sadar jika dirinya sedang melakukan kesalahan.

“Ngelakuin kesalahan? Sama siapa? Membahagiakan orang lain berpahala tauu..”

Ini dia salah kaprahnya manusia. Hobi menempatkan dalil pada hal yang tidak seharusnya. Sama seperti menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Istilahnya, ‘maksa’. Memaksakan kehendak hanya untuk berdalih mencari pembenaran dari apa yang dilakukannya.

Duhai, jangan sampai persepsi ‘berpahala’mu itu justru sejatinya dosa yang dilaknat oleh-Nya. Na’udzubillahi min dzalik!
__

Sampai sini, kita bernapas dulu. Merenungi apa-apa yang tertulis. Kemudian berpikir baik-baik tanpa menyertakan hawa nafsu di dalamnya. Cobalah sedikit saja berpikir obyektif; dalam kacamata syariat, tentunya..

Akupun masih perlu banyak belajar. Sebab sejatinya, jihad yang paling berat adalah jihad melawan hawa nafsu. Namun berat, bukan berarti kita tidak mampu melawannya.

Mari berjuang sama-sama. Jangan biarkan setan yang mengendalikannya. Dan jadilah pemenang atas hawa nafsu yang mampu menggelincirkan kita. Nas’alullahal ‘afiyah.

__
@zahidaannayra_
#day5
#30haribercerita



Rabu, 16 Januari 2019

Sebuah Jeda


Kadang, adanya jarak justru dibutuhkan dalam sebuah interaksi. Memberinya sebuah jeda untuk saling mengerti;

Seberapa kita butuh akan dirinya

Seberapa berarti dirinya untuk kita

Agar kita mengerti, bagaimana hidup tanpa adanya. Agar kita menyadari, bagaimana kita membutuhkannnya untuk menemani hari-hari. Agar kita memahami, betapa hidup ini hampa tanpa kehadirannya di sisi.

Kadang, kita perlu jeda dalam berinteraksi;

Agar kita merasai bagaimana rindu itu berkelindan dalam sanubari. Agar kita mengerti bagaimana syahdunya merawat rasa yang hanya mampu dilangitkan lewat doa-doa. Agar kita tahu, ada kosong yang biasanya terisi di dalam sana.

Sebab untaian kata tanpa spasi, hanya akan menciderai kesempurnaannya. Dan interaksi tanpa jeda hanya akan mencipta jenuh yang mengusik keakrabannya.

Tak apa, biarkan sejenak kita seperti ini.

Agar kita mengerti sejauh mana kita saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. 
Hingga rindu itu bercabang, menjelma bunga-bunga indah yang semakin rimbun adanya.


Antara aku, kamu, pun juga mereka.. 

__
@zahidaannayra_
#day4
#30haribercerita

Selasa, 15 Januari 2019

Kematian Sementara


“Kamu kenapa bangun tidur mukanya kucel begitu?”

“Ya, namanya juga baru bangun tidur.”

“Haha, iya, tapi kan nggak harus kesel gitu..”

“Pusing tau.”

“Kenapa?”

“Nggak tau. Bangun tidur bukannya malah fresh, tapi badannya sakit semua. Mana ni kepala nyut-nyutan gini.”

“Nah kan, bener. Nggak salah kan berarti kalau aku ngelihat kamu lebih kucel dari orang bangun tidur biasanya.”

“Hmm..”

“Berarti tidurmu nggak berkualitas dong. Sayang banget. Padahal kamu lumayan lama loh tidurnya.”

“Tau ih. Kenapa ya?”

“Hmm.. kamu ikhlas nggak tadi tidurnya?”

“Maksudnya?”

“Ya, sebelum tidur mungkin kamu spaneng mikir apa gitu. Atau mungkin emosimu lagi nggak stabil. Mau tidur masih jengkel sama orang. Jadi tidur dalam keadaan nahan emosi atau pikiran. Ya, semacam hal-hal yang bikin belum plong gitu lah.”

“Hmm, mungkin juga karena itu. Jujur aja sih, tadi sebelum tidur sempet jengkel banget sama orang. Jadi tidurnya agak-agak nggak tenang gitu deh.”

“Nah itu dia yang mungkin pada akhirnya bikin tidurmu nggak berkualitas. Karena ada hal yang mengganjal kuat dalam hati dan pikiran, sehingga mempengaruhi emosi. Tidur yang seharusnya bikin tenang dan fresh setelah bangun, malah jadi pusing selepasnya.”

“Trus harusnya gimana?”

“Ya diikhlasin aja. Apa-apa yang belum plong, sebelum tidur, cobalah untuk mengikhlaskan semua. Merelakan apa-apa yang terjadi. Pun memaafkan apa-apa yang tidak seharusnya dibiarkan berlarut dalam dendam dan emosi. Bukankah Rosulullah sendiri yang menitahkan kepada ummatnya untuk muhasabah sebelum tidur? Menghisap diri sendiri, menginsafi apa-apa yang salah selama ini, dan meminta maaf kepada mereka yang pernah terdzalimi. Toh itu semua untuk kebaikan diri sendiri, bukan? Sehingga nanti jika ruh ditaqdirkan untuk tidak kembali ke jasad ketika tidur, kita pergi dalam keadaan bersih.”

“Ih, ngeri amat sih. Masa’ iya nggak balik?”

“Lah, bukannya ruh memang terpisah dari jasad sementara ketika tidur?”

“Ya iya sih. Tapi kan ngeri kalo nggak balik.”

“Ya ngeri, karena kita nggak akan ada yang tau kapan ruh itu bener-bener dipisahkan dari jasad untuk selamanya di dunia. Makanya kita diajarkan untuk bersyukur ketika bangun dan masih mendapati ruh menyatu dalam jasad.”

“Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da maa amaatanaa wa ilaihinnusyuur..”

“Artinya?”

“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kamii setelah kami mati. Dan kepada-Nya kami kembali.”  

 “Alhamdulillah.. Semoga setelah ini kita semakin mampu untuk mensyukuri hal-hal yang terjadi dalam hidup kita. Apapun itu.”


“Semoga.”
__
#day3
#30haribercerita
@zahidaannayra_

Menghiba Barakah dalam Lelah

"Aku lelah.." keluhnya.

"rasanya seperti dikejar-kejar waktu dengan pekerjaan yang tanpa putus berjajar menunggu." 

Hening. Aku sengaja tidak membuka suara. Memberinya kesempatan untuk mencurahkan segala penatnya hari ini.

"rasanya pengen sebentaaar aja naruh badan ke pembaringan. Kalau tiap hari harus kayak  gini, kapan istirahatnya?" pungkasnya sembari menghela napas panjang.

"Udah ngeluhnya?" tanyaku yang hanya disambut dengan lirikan sebelah mata.

Aku tertawa melihat tingkahnya. Kalau udah begini, berarti ia sedang merajuk dan minta diperhatikan. Kalau lagi kayak gini keadaannya, sejatinya bukan nasihat yang ia butuhkan. Dirinya hanya butuh untuk didengarkan dan dipahami. Itu saja. Sebab ia sedang dilanda kelelahan jiwa dan raga yang butuh tempat untuk bersandar. Maka, menyediakan waktu dan telinga untuk mendengar adalah yang terbaik untuk tempat mencurahkan kepenatan akan rutinitasnya.

Maka, kuputuskan untuk memberikan suntikan semangat untuknya melalui tulisan. Biasanya ia akan menjadi lebih baik mood dan semangatnya setelah membaca kata-kata yang seringkali ia minta dariku ketika sedang down dan mood nya tidak mendukung untuk 'diceramahi' secara langsung.

Segera kuambil buku catatan dan pulpen miliknya yang selalu menempel kemanapun ia pergi. Membiarkannya tetap rebah di sisiku sambil memejamkan mata lelahnya. 
Dan petuah-petuah dariku -yang sejatinya juga kunasihatkan untukku- mulai mengalir di atas putih; 


"Ra, bukankah dunia ini memang tempat untuk berlelah-lelah? Bukankah dunia ini memang tempat untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk akhirat kita? bukankah memang disebutkan dalam Al-Qur'an,

'Fa'idzaa faraghta fanshob' -Al Insyirah: 07-

Jika kamu telah selesai dari satu urusan, segeralah berpindah kepada urusan lainnya. Segera sibukkan dirimu dengan urusan-urusan yang bermanfaat untuk hidupmu dan akhiratmu. Agar kamu tidak disibukkan dengan urusan duniawi yang sia-sia bahkan melenakanmu dari akhirat.

Namun, ada hal yang perlu kamu ingat. Jangan sampai kesibukanmu yang bejibun membuatmu lalai dari Al-Qur'an. Sebab, jika waktumu habis dengan berbagai pekerjaan, sementara Al-Qur'an tidak kebagian waktu meski sedikit saja, berhati-hatilah, sebab bisa jadi Allah sedang memalingkanmu dari Al-Qur'an dengan memberikan kesibukan-kesibukan duniawi yang seolah tidak ada habisnya.

Sampai di sini, aku berhenti sejenak. Merenungi sendiri kekata yang aku tulis. Kemudian bertanya pada diri; Sudah berapa juz dari Al-Qur'an yang aku baca hari ini?
  
Ra, kita semua diberikan waktu yang sama; 24 jam tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Ada manusia yang dengan waktu itu mampu mengerjakan banyak hal, menyelesaikan banyak pekerjaan, bahkan mungkin masih tersisa waktu untuknya istirahat. Namun, mengapa ada pula manusia yang bahkan tidak menghasilkan apapun dengan waktu yang sama? 

Jawabannya mungkin ada pada berkah tidaknya waktu yang dimilikinya. Dan salah satu tanda berkahnya waktu adalah, ia mampu melakukan banyak hal, banyak pekerjaan, namun berbagai kesibukan tersebut tidak melalaikannya dari ibadah, dan membaca Al-Qur'an.

Aku teringat dengan perkataan seseorang (entah siapa, lupa) yang ditanya; 'Seberapa banyak aku harus membaca Al-Qur'an setiap harinya?' Maka ia menjawab, 'Sebanyak kebahagiaan yang kau inginkan pada hari itu.'


Maasya Allaah.. Jujur aku speechless pas denger tentang ini. Ternyata untuk meraih bahagia itu sederhana, ya.. Terlebih kebahagiaan dan ketentraman bagi hati; Sang raja diri.

Ra, tidakkah kita ingin mendapat sebanyak kebahagiaan? Tidakkah kita ingin mendapat berlimpah keberkahan? Yuk, jangan pernah lupa untuk selalu baca Qur'an; sesibuk apapun rutinitas kita. Sebab membacanya, bukan mempersempit waktu. Justru melapangkan, dan memberikan barokah pada waktu yang kita punya. Percayalah..

Aku meliriknya yang kini tengah terlelap dengan nyenyaknya. Kemudian melanjutkan penutup akhir dari kekata yang ingin kutuliskan.

Ra, jika kau bertanya, 'Lalu, kapan istirahatnya?'
Aku teringat perkataan Imam Ahmad ra. ketika ditanya tentang hal itu, 

'Sesungguhnya, tempat istirahat seorang mukmin adalah ketika ia telah menginjakkan kakinya di Jannah.' jawab beliau rahimahullah.

Jadi, jangan pernah patah dan kalah oleh setiap peluh yang keluar dari kelelahanmu. Bersabarlah, dan semoga lelahmu selama ini adalah lillah. Agar mampu menuai janji indah-Nya, yakni Jannah. Amiin..

__
#day2
#30haribercerita
@zahidaannayra_ 





  




Senin, 14 Januari 2019

Pending..


Mohon maaf pemirsaah..
Untuk #day2 #30haribercerita belum bisa diposting untuk hari ini, karena satu dan lain hal (alesanπŸ˜… tapi beneran kokπŸ˜“). Duuh padahal baru hari ke-dua.😟
Tapi, bukan berarti sayya belum nulis untuk hari ini ya..
Insya Allah untuk tulisan syudah ada. Hanya belum bisa diposting saja. Insya Allah besok segera diposting kok..✌ 
Doakan kedepannya bisa istiqomah, dan nggak banyak alesan lagi.. Hehe.. 
 Terimakasih..
__

@zahidaannayra~

Minggu, 13 Januari 2019

Toples Kaca


Hari ini, tanpa sengaja dan berniat sebelumnya, tanganku tiba-tiba tergerak begitu saja membuka file-file lama di laptop. Ada satu folder yang membuatku tertarik untuk membukanya; sebuah file berisi foto-foto kita.

Aku tertegun mendapati diriku tengah tersenyum sendiri tanpa sadar ketika tenggelam dalam kenangan akan foto-foto itu.

Ah, ternyata dulu kita pernah sebahagia ini. Ternyata aku pernah tertawa lepas di sisimu. Ternyata kita pernah apa adanya ketika bersama. Tertawa tanpa perlu alasan. Bahkan menangis tanpa sungkan.
Setidaknya, hari ini aku bisa tersenyum sejenak. Mengenang kebersamaan yang entah akan terulang kembali atau tidak. Setidaknya aku mampu merasakan kembali indahnya masa itu. Meski selepasnya nanti, terselip getir saat ku menatapmu kembali dalam nyata. Sebab kenyataan hari ini, tak seindah hari-hari yang telah berlalu bersamamu, dulu.

Tak apa, aku hanya perlu bersyukur atas apa-apa yang telah terjadi. Aku hanya perlu bersyukur atas karunia waktu dan kesempatan yang Allah berikan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersamamu.

Meski nantinya kenyataan pahit kembali hadir begitu kenangan itu aku tutup dari nyata. Ya, kenyataan bahwa sekat dan dinding pemisah itu layaknya benteng angkuh yang membatasi; membuat jarak antara aku dan kamu. Sekeras apapun perjuangan kita untuk mengembalikan keadaan seperti adanya dulu, rasanya pun percuma adanya.

Ya, sebab mungkin dunia kita telah berbeda seutuhnya. Apalagi dengan hadirnya ‘ia’ di sisimu. Seseorang yang kini menjadi alasan dari senyum sumringah di tiap harimu. Ia yang kini menjadi alasan bahagia di setiap detikmu bersamanya.
__
“Kamu sedih ketika mengenang semuanya, kemudian menyadari kenyataan yang sekarang ada?” Tanya seseorang.

“Entah. Akupun tak bisa membohongi diriku sendiri ketika harus mengatakan ‘tidak’, padahal di dalam sana hatiku telah basah oleh rinai.” Jawabku parau.

“Apa salah, jika aku merindukan kebersamaan itu?”

“Tidak ada yang salah perihal rindu. Itu berarti menandakan bahwa kamu menghargai adanya kenangan itu. Seperti lampu yang menyala dalam toples kaca. Kenangan itu ada, masih indah seperti adanya ketika suatu saat kamu memutuskan untuk menengoknya kembali. Ia terjaga, meski telah tertutup oleh waktu yang telah berganti.”

“Namun, jangan terlena. Jangan berlama-lama menyelam di dalamnya. Atau matamu akan silau dengan keindahan yang sejatinya hanya ada di alam maya. Sebab ia tak lagi nyata, seperti dahulu adanya. “ lanjutnya lagi.

“Takutnya, nanti ketika kau memutuskan untuk kembali ke dunia nyata, kau hanya akan mendapati sekelingmu telah gelap oleh gulita. Dan kamu kembali kehilangan arah untuk melangkah. Sementara pikiranmu masih ada di bawah bayang-bayang keindahan akan kenangan yang membuatmu terlena.

Jadilah realistis. Bangunlah dari bayang-bayang semu masa lalu. Cobalah untuk melihat lebih dekat sekelilingmu. Dunia ini indah, jika kamu mau mensyukuri hal-hal kecil yang Allah anugrahkan untukmu. Atas hari ini, atau bahkan atas apa-apa yang telah berlalu.

Tersenyumlah, sebagaimana kamu mampu tersenyum lepas seperti dulu. Buktikan, bahwa ada atau tidaknya dia, bukan  menjadi barometer kebahagiaan hidupmu. Karena hidup ini milikmu. Bukan miliknya, atau bahkan mereka."
__
Benar, mungkin aku yang terlena. Lihatlah, senja hari ini begitu menawan; syahdu. Meski gelap di ujung sana mulai mengekor merahnya. Dan keindahan itu perlahan-lahan sirna.. 
__
@zahidaannayra_
#day1
#30haribercerita