Rabu, 30 Agustus 2017

Apa Salahnya Memilih Diam?

Apa salahnya menjadi diam? Jika diam menjadikannya tenang, kenapa memilih bersuara lantang yang hanya menciptakan perang. Diam bukan berarti kalah, diam juga bukan berarti mengalah, tapi diam itu mencoba untuk menjadi penengah. Menjadi diam itu tak salah, namun seringkali bernilai serba salah. Terkadang diam adalah pilihan terbaik tatkala mulut mulai enggan untuk berucap dan berkata.

http://riniyuvita.blogspot.com/2013_06_01_archive.html

Diam itu tak salah, namun juga tak benar. Diam itu menanti, bukan membisu. Menanti waktu yang tepat untuk berbicara, tak asal berucap bagai senar gitar yang acak bergetar. Jangan bicara tatkala jiwamu murka, jangan berjanji tatkala jiwamu sedang tak bernyali. Bukan bermaksud menghakimi tapi hanya untuk menjaga diri. Menjaga diri dari api janji yang begitu membakar hati. Terkadang aku memilih diam bukan karena tak tahu apa-apa, tapi aku memilih diam karena enggan untuk memperkeruh suasana. Sesungguhnya aku memilih diam ketika banyak pendapat yang ingin aku sampaikan namun oleh mereka ditanggapi layaknya sebuah umpatan. Tak berguna, dan tak diapresiasi. Jadi untuk apa aku banyak cakap?


Jangan menjawab ketika sejuta kata menyerang urat syaraf telinga. Menjadikanmu tuli tatkala kamu memilih untuk membalasnya. Ingatlah kata Putu Wijaya “Jangan bicara ketika kau ingin menyemprot dunia dengan kata-kata, karena di belakangnya mengantri berjuta-juta kata indah yang sedang menanti. Bicaralah ketika kau membisu.” Mendiamkan diri bukan mendiamkan dunia, tetapi mencari celah masalah untuk menyelipkan solusi. Orang bijak berkata karena mereka punya sesuatu untuk dibicarakan.

Jika diam menjadikanmu seperti Macan sekiranya diam menjadi pilihan. Apa gunanya berteriak lantang jika hanya akan menjadikanmu seperti kawanan Anjing jalanan. Kawanan Anjing jalanan yang berisik dan saling mengusik. Imam Syafi’i pernah berkata “Tidakkah engkau lihat bagaimana Macan di hutan belantara begitu ditakuti dan disegani ketika mereka diam. Tidakkah engkau melihat bagaimana orang-orang melempari anjing-anjing jalanan karena terlalu banyak menyalak dan menggonggong tak perlu.” Terkadang aku memilih diam bukan karena tak punya kata, tapi karena menurutku itu lebih mudah dalam menjelaskan semuanya.

Jadi, apa salahnya Aku memilih diam ???

__
Sastra Ananta

Sabtu, 12 Agustus 2017

Dimanakah Kita?



Jika buku-buku yang kita baca menjadikan kita merasa lebih tahu daripada sesama..
Jika kajian-kajian yang kita hadiri membuat kita merasa telah pasti berada di jalan yang diridhai..
Jika dengan berada di jama'ah A, mengutip Syaikh B, dan menjadi murid ustadz C menguarkan dalam dada kalimat, "Aku lebih baik daripada dia.."
Jika ilmu dan amal yang kita raih menumbuhkan perasaan betapa berhaknya kita atas syurga..

Mari kita simak satu kisah di antara berpuluh ribu kemuliaan para salafush shalih.

Adalah Al Imam Abul Faraj ibn Al-Jauzi, rautan pena yang digunakannya untuk menulis dapat menyalakan perapian sebuah rumah selama berbulan-bulan. Jika jumlah halaman seluruh karya tulisannya yang sekira 2000 judul dibagi dengan umurnya sejak baligh, maka dihasilkan bilangan 40 halaman perhari.

Melalui dakwahnya, lebih dari 30.000 Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Melalui mau'idzahnya, lebih dari 100.000 orang bertaubat dari dosa-dosa. Tapi beliau berwasiat kepada para muridnya sambil menangis terisak-isak.

"Jika kalian telah masuk ke dalam surga Allah," ujarnya di sela sesenggukan, "sedang kalian tak mendapatiku ada di sana. Maka tanyakanlah oleh kalian tentang diriku. Lalu katakanlah, 'Ya Rabbi, sungguh hamba-Mu si fulan pernah mengingatkan kami tentang Engkau. Maka angkatlah dia, serta sertakan bersama kami dengan rahmat-Mu.'" Dan beliau semakin tersedu.

Ya Rabbana.. Aina nahnu min akhlaaqissalaf..
Dimanakah kedudukan kami dibanding segala kebajikan yang mereka tebar dengan ilmu dan amalnya; lalu dimana pula kami dibanding akhlak dan ketawadhuan mereka...

__
Sunnah Sedirham Surga_
#100th post