Minggu, 25 Oktober 2015

Kabut yang tak lagi indah



Fajar menyongsong
Namun Gambut membara
Merah,
Berkobar,
Layaknya angkara murka

Anak kecil itu bangun
Kemudian terbatuk
matanya mengerjap

"Kak, sepertinya kabutnya sedikit tebal ..."

Hiruk pikuk terasa
Hari semakin siang
Ia menyibak gorden. Menatap dingin.

"Kak, mengapa kabut masih saja ada?"

Anak itu terbatuk lagi

Menerawang awan.
Namun,
langit tak lagi tembus oleh netra
Biru yang memudar
Menjelma putih pekat.

Udara mulai beraroma
Sesak
Mencipta serapah

Kabut itu semakin tebal
Meruap sepanjang hari
Menghabisi oksigen
Meniadai birunya langit

Hijau menjelma merah
Sepoi pun menjelma gerah

Sepertinya, mereka sedang menerka-nerka
Bagaimana neraka
Sepanas apa kah ...

Mungkin mereka penasaran
Bagaimana dahsyatnya neraka akhirat
Hingga akhirnya,
Percobaan mereka berhasil
Mencipta neraka kecil di dunia

Namun,
mengapa mereka pergi?
Bukankah mereka yang mencipta bulatan api itu?
Bukankah mereka yang ingin merasai neraka,
Bukan kami?

Rupanya mereka tahu,
Neraka kecil yang mereka cipta,
tak ada apa-apanya
dibanding neraka akhirat

Mereka tunggang langgang
Pergi begitu saja
Meninggalkan angkara murka
Setelah berhasil mencipta kabut yang semakin tebal

Tak ada lagi sejuk pagi
Bahkan kami mulai lupa warna langit 
Bagi kami, kini semuanya sama
Putih
Pekat.

Haruskah kami mengucap 'terimakasih'?
Pada mereka yang duduk tenang
Pun mampu bernafas dengan lapang
Tanpa masker.
Tanpa sesak.

Iya, Pak ...
Jika itu keinginan kalian,
kami bisa apa?

Terimakasih, Pak ...
Neraka itu membuat kami selalu ingat mati.
Karena rasanya, kematian itu semakin dekat dengan kami

Neraka itu membuat kami semakin bersyukur
Atas karunia oksigen yang melimpah, sebelum neraka kecil ini tercipta

Terimakasih, Pak ...
Telah mencipta kabut yang kini tak hanya ada di pagi hari
Namun sepanjang nafas kami

Terimakasih, Pak ...
Atas neraka dunia yang kalian cipta
Sehingga kami, bisa sedikit menerka-nerka kedahsyatan neraka akhirat kelak

Sekali lagi,
Terimakasih, Pak ...
Atas 'maksud baik' bapak ...

======================***

"Tapi, Kak ..., mengapa kabutnya menjadi kuning?"

.
.
.

Fajar menyongsong

Namun anak itu tak jua beringsut
Dan korden itu masih tertutup

Mulutnya terkatup
Ia,
tak lagi terbatuk




06.25
_Ra_

#pray_for_kalimantan
#malam_narasi_owop

Share:

3 komentar: