Sabtu, 30 Januari 2016

Hujan_


Mendung masih menggelayut. Menutup siluet senja. Hanya jingga yang samar, terukir di langit barat. Angin berhembus lembut. Membawa hawa dingin. Rupanya, sebentar lagi hujan akan merintik. Kembali turun, membasahi bumi. Di tempat dan waktu yang sama. Tepat saat senja.


Gadis itu masih di sana. Di bilik jendela, tempat ia menunggu senja. Menikmati saat-saat matahari terbenam. Setia mengantarkan mentari hingga ke peraduannya.

Tik ... tik ... tik ...

Gerimis mulai menitik. Namun ia tak juga beringsut dari tempatnya. Wajahnya menengadah. Matanya terpejam. Ia terlihat menikmati tiap tetes yang mengalir di sela lekuk wajahnya.  Hingga ia tak sadar, hujan telah membuat sebagian bajunya kuyup.

"Ra, kau baik-baik saja, kan?" suara Arsya, kakak semata wayangnya mengejutkan Rara.

"Ah, kakak ...," buru-buru ia menghapus butiran air di wajahnya.
"aku nggak papa kok ..." sahut Rara tersenyum.

"Kamu yakin?" 

Rara  mengangguk. Kemudian tersenyum lagi, meyakinkan kakaknya bahwa ia baik-baik saja.
Arsya mengeryit. Ia tampak sangat khawatir. Ada rona merah di mata adiknya. Dan ia tahu, itu bukan efek hujan. Karena meskipun Rara menengadahkan wajah, matanya terpejam. Arsya yakin, adik semata wayangnya itu habis menangis. Ia paham betul bagaimana Rara ketika sedang sedih. Hujan adalah waktu yang tepat ia melampiaskan segalanya.

Bagi Rara, hujan adalah sahabatnya. Yang setia mendengar tangis Rara. Tempatnya menumpahkan segala rasa. Meneriakkan segala isi hatinya, berteriak sepuasnya. Dan hujan, akan meredam semuanya. Melebur semua sedihnya. Karna hanya hujan yang mampu menyembunyikan airmata Rara. Kemudian membawa pergi semua kisahnya, tanpa membocorkannya sedikitpun.

Meski setelah itu, Rara akan terlihat ceria, dan senyumnya akan kembali, seiring munculnya matahari setelah hujan. Dan langit akan kembali terang. Seolah tak terjadi apa-apa. Cerah, di langit sana.

Namun Arsya tahu, di bawah sana, hujan selalu menyisakan basah, bahkan genangan. Yang matahari pun, bahkan tak mampu mengeringkannya begitu saja.

Arsya memandang teduh wajah adiknya. Ada kegetiran tergambar disana. Meski ia tahu, Rara sangat menyukai hujan, namun ia tak menyadari, ada banyak lubang yang mencipta genangan disana. Lubang yang tanpa ia sadari menjadi semakin parah. Karna ia membiarkan hujan terus menerus mengguyurnya.

"Ra, sampai kapan kamu akan seperti ini?"

"Hm?" Rara mengeryit. Pura-pura tidak paham maksud dari ucapan kakaknya.

"Jangan memaksakan diri, Ra ... 
Kamu tidak perlu terus-terusan berada di bawah hujan, hanya untuk meyakinkan bahwa kau baik-baik saja dengan kehadirannya. Bukankah itu hanya akan memperparah lubang yang menganga dalam hatimu?"

Rara menunduk. Ia tahu, dirinya tak akan pernah berhasil menyembunyikan luka di depan kakaknya. Arsya selalu bisa membaca keadaan hatinya. Meski beratus kali Rara meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Pada akhirnya, ia akan luruh di depan kakaknya itu.

"Ra, melupakan ... memang tak semudah membalikkan tangan. Seperti halnya hujan, ia akan datang kapan saja, tanpa kau mampu menghentikannya. Tak peduli bagaimana keadaanmu. Seperti itu pun kenangan. Kau hanya perlu untuk tidak memikirkannya. Itu saja. Tak perlu susah payah melupakan. Berdamailah dengannya. Jangan pula membenci. Kau tak pernah tahu, Ra ... terkadang, kebetulan-kebetulan kecil itulah, awal dari rencana besar yang Allah siapkan. Tak perlu patah, dan berlama-lama dalam keterpurukan .... Bukankah lebih baik kau memperbaiki lubang yang ada, dan menutup genangan-genangan itu dengan sesuatu yang indah? Siapa tahu, akan ada bunga-bunga yang tumbuh dari lubang-lubang yang kau tutup ..., Bukankah itu lebih baik, daripada membiarkan genangan itu semakin melebar lantaran hujan ...."

Rara tak lagi mampu menahan bendungan di matanya. Airmatanya luruh. Menetes satu-satu.
Arsya memeluknya. Membiarkan dada bidangnya menjadi sandaran adik tercintanya.

"Ra, kakak tak ingin kau terluka ketika hujan turun ... Bukankah kau sangat menyukai hujan? Kakak tak ingin genangan itu semakin melebar dengan adanya hujan. Segeralah untuk menutup lubang-lubang itu. Tanamlah biji-biji semangat dan kepercayaan akan sesuatu yang lebih baik. Dan kau tak perlu takut untuk terluka lagi, Ra ... Kau masih bisa menikmati hujan itu lagi, tanpa terpaksa, pun rasa sakit yang membuatmu terluka."

Arsya mengelus kepala Rara. Menepuk lembut bahu adiknya yang berguncang pelan. Rara masih tersedu. Sementara hujan semakin lebat. Namun, ada secercah lega yang muncul di hati Rara. Diam-diam, ia bersyukur, atas adanya Arsya di sampingnya ...

~bilik jendela_
___
#OneDayOnePost
#HariKetigaBelas
Share:

3 komentar: