Rabu, 30 September 2015

Pada Akhirnya, Aku Harus Pergi




Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Menghapus jejak yang ada. Meniadakan bayang dalam terang. Bersembunyi dalam redup yang gelap.

Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Tak lagi ada dalam kehidupanmu. Membatasi diri. Membuat jarak dalam interaksi. Bukan, bukan hanya jarak, namun penghapus bayang dalam nadi.

Aku tak ingin berlama-lama. Toh semuanya belum pasti. Pun pada akhirnya nanti, aku harus pergi. Namun, aku tak ingin menunda waktu menjadi lebih lama lagi. Karna dengan memperpanjang adaku bersamamu, sejatinya kita sama-sama sedang mengukir luka yang semakin dalam. Dan keterpisahan itu, akan menjadi lebih sulit. Seperti luka dalam yang tak kunjung mengering. Karnanya, aku putuskan untuk pergi, sekarang ...

Aku tahu aku bisa. Dan kau pun akan terbiasa. Semuanya butuh waktu. Dan kapanpun kau ulur, waktunya tetap akan tiba. Karnanya, aku tak ingin lebih lama menunda. Meski sebenarnya tak tahu, apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk menghapus bersih semua jejak. Tanpa pamit. Pun tak menyisakan sedikit kata. Hanya ada satu kalimat dalam benakku. Aku harus segera pergi ...

Maafkan, atas segalanya yang terjadi tiba-tiba. Namun keputusanku sudah bulat. Aku tahu, satu jam kedepan, bisa saja aku goyah. Maka aku tak ingin menunda. Selagi detik ini aku kuat. Meski hanya sesaat.

Karna aku paham akan hatiku, yang bahkan tak mudah untuk beranjak dari kehidupanmu. Maka, selagi kesempatan langka ini menghampiri fikirku, aku tak ingin terlalu banyak petimbangan dalam bertindak. Aku yakin ini jalan terbaik. Keputusan terbaik. Mengakhiri semua kebimbangan selama ini.

Maafkan, jika aku tak melibatkanmu sama sekali. Toh, kita sudah pernah berjanji untuk tidak lagi bersinggungan dalam nyata. Namun usaha itu tak pernah bertahan lama. Selalu ada celah untuk kembali. Dan tak ada waktu untuk pergi. Hingga jalan itu tertutup lagi.

Pada akhirnya, aku harus pergi ...
Meninggalkanmu dalam sepi, katamu ...
Entah itu nyata, atau sebatas kekata.

Hingga aku rasa, inilah waktunya ...
Waktu untuk pergi
Mungkin kembali, atau tidak sama sekali.

Toh nantinya,
Pada akhirnya kita sama-sama akan pergi
Entah aku dulu, atau kamu ....



-
zahidaannayra-
~penghujung masa

       _30.09.15_



Kamis, 17 September 2015

Seperti Telaga yang Tertutup Salju



Bukan masalah berpisah atau keterpisahan,
Namun tentang bagaimana kita bersikap dewasa ...

~@zahidaannayra


Pada akhirnya, api yang membara akan padam. Hujan yang lebat akan reda. Debu-debu yang beterbangan merupa badai pun akan berhenti.

Seperti hati kita.  Yang lambat laun akan terbiasa dengan keterpisahan itu. Gejolak yang membara akan redam. Seiring dengan turunnya butir-butir putih yang mulai menebal. Meliputi setiap inci sekam yang membara. Hingga benar-benar redup dan tertutup. Menjelma putih yang dingin, kemudian beku. Tak ada lagi merah yang membakar. Pun gejolak yang rawan meledak. Terkikis oleh butiran putih yang turun. Merupa dingin yang mampu gigilkan rasa.

Dan kau pun lupa, akan air dalam telaga yang luas Itu. Ia menjadi hilang tak berbekas ketika butiran putih itu turun. Meski pelan dan perlahan. Butiran kecil itu, tak mampu menutup seluruh permukaan dalam satu waktu. But, slow and steady ... Satu-satu. Hingga permukaan air itu benar-benar tertutup. Tak lagi nampak kecipak yang bergejolak. Hilang dalam berbagai proses yang membutuhkan waktu. Berhari-hari, bahkan bulan dan tahun. Tak sebentar.

Mungkin sejenak kau akan lupa dengan air dibawah padang putih yang luas itu. Melupakan sejenak riak-riak di bawah sana. Asyik membuat jejak diatas telaga yang tlah menjelma padang putih itu. 

Namun kau lupa, seberapapun tebal permukaan putih yang menyembunyikan air dibawahnya, lambat laun akan mencair kembali. Memperlihatkan wujud dari padang putih itu sebenarnya.

Begitulah, sebanyak apapun jejak yang kau buat untuk menutup kenangan itu, rasa itu, pun episode yang pernah kau mainkan bersamanya. Hingga keterpisahan menjadi ending dari segalanya. Pasti, suatu saat nanti, entah kapan waktunya, adaaa saja satu bagian yang retak, kemudian memicu keretakan bagian yang lain, hingga tabir dari masa yang benar-benar berusaha kau timbun, menjadi tersingkap kembali.

Namun, musim tlah berganti.
Dan kau sudah cukup tertempa oleh satu musim yang benar-benar mampu menjadikanmu dingin. Membekukan segala ekspresi serta rasa yang tak lagi meletup-letup. Kau telah mampu meredam  segala gejolak dari bara yang pernah ada. Dengan butiran kecil yang turun satu-satu, kemudian menjelma menjadi padang putih luas yang mampu bekukan semua. Menutup pesona pelangi, menjadi satu warna; putih.
Menjelmakan segala ekspresi rasa, menjadi satu; dingin ...

Dan musim, benar-benar berganti. Menjelma semi yang berarti ; dan dinanti  ...


#Malam narasi OWOP
~@zahidaannayra




Selasa, 15 September 2015

Meredam Rasa



Jika dua orang benar-benar saling menyukai, itu bukan berarti mereka harus bersama saat ini juga.
Tunggulah di WAKTU YANG TEPAT
Saat semua memang sudah siap,
Maka kebersamaan itu bisa jadi hadiah yang hebat ntuk orang-orang yang bersabar

Sementara, jika waktunya belum tiba, sibukkanlah diri untuk terus menjadi lebih baik.
Bukan  dengan melanggar banyak larangan 
Suatu saat, waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya,
Apakah rasa suka itu semakin besar, atau semakin memudar ...


S.A.B.A.R
Satu kata itu, mungkin demikian mudah terucap dalam lisan. Namun untuk hati, mampukah ia bertahan? Menahan gejolak rasa yang meletup dalam bara. Seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu meledak ketika hati tak mampu lagi membendung lava yang membuncah keluar. 

Sabar ...
Bahkan kata itu seakan menjelma menjadi ketakutan yang dalam. Ketakutan akan suatu ketidakpastian. Seperti kerja paksa bagi hati untuk melakukannya.  Hingga waktu yang tak tahu sampai kapan.

Sabar ...
Tunggulah di waktu yang tepat
Saat semua memang sudah siap ...

Sampai beribu tanya berkecamuk dalam hatiku; lalu, kapankah waktu yang tepat itu? Saat hatiku dan hatimu bertemu dalam satu ruang, bercengkrama tanpa sekat, saling bersentuhan dalam rasa yang telah lama tertahan dalam batas ...

Sabar ...
Lagi-lagi kata-kata itu menggema di angkasa ... Mengawang dalam angan, saat tak lagi kita dapati jawaban yang mampu mewakili segala tanya

Kita mungkin berpura-pura  acuh. Seolah rasa itu tak pernah ada. Menyibukkan diri dengan berbagai hal. Bersikap dingin dengan rasa yang ada. Padahal , jauh di dalam sana, hatimu membara. Memerah dalam rona. Bertahan dalam gejolak rasa. Se-acuhnya dirimu di dzohir, kau tak akan mampu membohongi apa yang ada dalam bathin. Karna ia kuat. Utuh. Bersih. Dan, jujur ...

Hanya waktu yang mampu menjawab segalanya ...
Segala rahasia besar yang ada, akhir dari setiap pergolakan bathin yang susah payah kau biarkan tersembunyi. Akankah ia bertahan dalam bara yang semakin matang. Atau, padam begitu saja ... Dingin tertiup masa. Menyisa hangus yang membekas luka.

Kita tak pernah benar-benar tahu. Kita hanya bisa menerka-nerka. Pun tak pasti. Hanya kepastian-kepastian yang sebenarnya kita ada-adakan. Bentuk sedikit upaya untuk mendinginkan dua hati yang terluka. Meredam rasa.

Hingga akhirnya kita putuskan penantian itu. Penantian waktu yang tak pasti. Karna sejatinya kita sama-sama tahu; bahwa kita benar-benar tak tahu bagaimana kedepannya nanti, antara hatiku dan hatimu.

Jika bukan oranglain, pasti kamu ...




Senin, 14 September 2015

Bersyukurlah ...

Hari sudah mulai gelap, seiring matahari kembali ke peraduannya. Namun kali ini, kegelapan itu benar-benar membayang rata di seluruh desa kami. Sudah sejak siang  mati lampu. Hingga hari menjelang maghrib, entah kenapa listrik di desa kami belum juga menyala. Sementara udara panas khas kota Semarang, semakin membuat gerah yang mencipta lengket di kulit.

 Lampu mati, air pun mati. Ditambah nyamuk kebun yang mulai bermunculan dalam redup. Sempurna sudah. 

"Ya Allah, mati lampu setengah hari kaya' gini aja, orang-orang udah pada susah. Gelap, banyak nyamuk, air mati ... Mending sih, sekarang udah ada senter. Gimana jaman dulu ya, ketika listrik bahkan belum ada?" celetukku tiba-tiba.

Eeeh, tiba-tiba umi bilang ...

"Makannya, kamu harus banyak-banyak bersyukur ... Dulu waktu umi KKN, dan kamu masih ada di kandungan, desa tempat umi KKN sama sekali belum ada listrik. Kamar mandi apalagi. Hanya ada satu sumur umum, buat seluruh penduduk. Itupun harus jalan dulu 3 km untuk mencapai sumur dan mendapatkan air. Pokoknya, perjuangan banget!"

Aku tertegun, membayangkan kehidupan sebelum aku dilahirkan. Melalui masa-masa sulit ketika aku dalam kandungan.

"Lah, berarti Umi jalan jauh juga donk, buat ndapetin air? Dan itu, dalam keadaan hamil?"

"Awalnya begitu, tapi ketika Pak Lurah tahu kalau Umi sedang hamil, akhirnya Umi dibuatkan ruang kecil dari kain untuk kamar mandi. Jadi nggak perlu jalan jauh lagi buat ngambil air ..."


*****

Cerita demi cerita tentang masa lalu mengalir dari lisan Umi, mengisahkan berbagai hal yang semakin membuatku banyak bersyukur dengan keadaan saat ini. Diselingi kelucuan-kelucuan saat itu, khas anak-anak remaja.

Ketika kehamilan umi dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk meminta bermacam-macam makanan, dengan dalih 'umi ngidam'. Padahal saat itu, umi tidak sedang ngidam apapun. Hha ... Soalnya, kalo atas nama umi, pasti akan dicarikan. Padahal itu adalah keinginan teman-teman umi sendiri.

Meskipun saat itu hamil muda, dan umi dituntut untuk harus berkegiatan macam-macam, alhamdulillah kandungan umi kuat. Sampai-sampai, temen-temen umi bilang, "

"Fi, nanti kalo anakmu lahir, dinamain 'Pakemi' aja ..., truz kalo cowok, dinamain 'Pakemo' ... Haha"  Soalnya, desa tempat umi KKN itu, adalah Desa Pakem. Iiih, Ya Allah, dalem hati gue bersyukur, kaga' dinamain Pakemi karna gue terlahir cewek ... Haha ...

And I'm so happy because my parents give the best name for me ... Z.A.H.I.D.A  yang artinya, Zuhud terhadap dunia ... :)  


Many thanks and love for you, Mom ... :*



13.09.15
Darkness ...

Selasa, 08 September 2015

Ada Rasa Dibalik Kekata

Untukmu,
Yang membuatku bahkan merasa bersalah menuturkan himpunan kekata ...


Maafkan ...
Terkadang akupun bimbang, mengapa kata-kata itu demikian mudahnya mengalir dalam tulisan ...
Beruntun dalam satu untaian, yang bahkan .., tanpa kau tahu, semua itu justru membuatku tertikam oleh kata-kata itu sendiri.
Membuka kembali seberkas luka yang hampir mengering. Menjadikannya kembali menganga. Mencipta seberkas rindu.

Maafkan ...
Bahkan kata-kata itu, seolah menghadirkan kembali bayangnya dalam hati dan pikiranku.
Ia yang tak seharusnya ada.
Kau tak pernah tau, mengapa sedemikian mudah kata-kata itu mengalir begitu saja.
Ya, karna akupun pernah menjadi bagian di dalamnya. Bermain peran dalam lingkaran itu. Lingkaran yang sama denganmu.

Maafkan ...
Karna sebenarnya akupun tahu,
Tak mudah tuk lakukan semua itu, semudah aku menuliskannya, memaparkan dengan gamblang seluruh solusi yang ada.

Kau tak pernah tahu,
Sejatinya, aku seperti menuliskan kembali seluruh rasa yang pernah hinggap dalam bilik-bilik hati. Mengisahkan ulang cerita yang sempat aku mainkan, dan aku, sebagai pemeran utama. Hingga aku mampu tuk tuliskan setiap detailnya, seolah aku bersih dari semua itu ...

But ...,

Sekali lagi, maafkan ...

Bahkan untuk bangkit, aku pun belum seutuhnya mampu tegak berdiri.
Meski seolah tegar dalam netra,
Aku pun rapuh dalam nyata

Akupun punya cerita yang sama
Bahkan mungkin ..., rasa yang tertanam, melebihi apa yang kau rasa
Namun, sama seperti dirimu ...
Aku tak ingin berlama-lama dalam rasa yang menyiksa hati, pun jiwa ...
Bangkit dari keterpurukan yang ada, pun rasa yang menggelisahkan
Mencipta getir yang menyesakkan dada

Aku tahu tak mudah bagiku, pun mungkin dirimu nantinya .., yang sedang berusaha dan berjuang untuk bangkit ..

Namun, bukankah kita harus memilih untuk melakukan sesuatu yang harus kita lakukan, bukan pada sesuatu yang kita inginkan, bukan?

Karnanya, mau tidak mau ...
Susah pun berat .., harus kita lakukan, untuk bangkit ... untuk menjadi lebih baik ...
Bermain diatas skenario yang seharusnya

Bukankah kita telah percaya, bahwa Ia adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan kita?




Semarang, 08.09.15
Pergumulan asa ...

@zahidaannayra

Rabu, 02 September 2015

Analogi Buah Mangga

A.N.A.L.O.G.I  F.R.O.M  T.H.E  P.I.C.T.U.R.E


Malem ini, adalah jadwal malam narasi di grup OWOP
Gambar kali ini, bener-bener beda bin aneh. Entah apa yang ada dipikiran Pap Suh, sampe ngasih kita gambar kaya' gini buat di-narasi'in. Katanya, biar kita-kita terbiasa melihat lingkungan sekitar, kemudian mengambil inspirasi darinya.

So, however ...
Apapun yang ada di otak tentang gambar ini, tuangin aja.
Meskipun awalnya bingung, tapi ... Just do it! 

Daan .. Inilah hasilnya ...



#2. Malam Narasi
Bismillah ...

Kawan ...
Seperti buah yang padat, berisi ...
Aku harap,
Seperti itulah ukhuwah yang terjalin diantara kita

Kau lihat?
Daging buah itu begitu padat, membentuk satu kesatuan yang kokoh.
Tak pecah, atau sedikitpun rongga.

Begitupun kita. Bersatu dalam langkah. Berpadu dalam  keimanan. Tolong menolong dalam kebaikan. Saling menasihati dalam ma'ruf, pun mengingatkan ketika mungkar. Membentuk keharmonian rasa. Seiya sekata.

Disini, di tempat indah dengan title 'One Day One Paper' kita dipertemukan. Menimba ilmu, merajut mimpi bersama. Berbagi rasa, pun cerita. Ada bahagia, pun air mata. Mengiringi perjalanan kita dalam ranah impian, berprinsip mulia; stop wishing, start writing.

Hingga saatnya nanti, buah itu benar-benar matang seutuhnya.
Dan keterpisahan itu menjelma niscaya.

Suatu hal yang mustahil bukan, jika kita terus bersama dalam nyata?
Ada saatnya nanti kita berpisah.
Seperti pisau yang menjadikan satu-kesatuan itu terpotong-potong.

Kau tahu? Nantinya, potongan-potongan itu tidak akan sama. Seperti itu pun kita. Mungkin, ilmu yang kita dapatkan disini sama. Namun, disitulah kan teruji letak keseriusan kita dalam menimba ilmu. Mana yang menyerap lebih banyak, mana yang bahkan ilmu itu hanya numpang lewat.
Semua tergantung kita. Lagi-lagi, kembali pada diri sendiri.

Namun, seperti buah yang utuh, begitupun persaudaran kita. Saat lengah, rapuh, pun hempas ... Bukankah mereka ada? Membantumu bangkit. Mengulurkan tangan penuh arti. Menjaga agar satu bagian itu tak rapuh dan membusuk. Karna jika sedikit bagian itu membusuk, mungkin dia akan terpotong lebih dulu. Terhempas begitu saja.

Bukan itu yang kita inginkan, bukan? Bukankah kita ingin matang bersama ... Mencecap ilmu hingga akhir ... Kemudian terpotong oleh pisau masa yang menjelma keterpisahan, bersama juga?

Karnanya, selagi masa bersama masih ada ... Selagi pisau masa belum memisahkan keutuhan kita ... Semoga penjagaan itu masih ada. Agar tak ada busuk di satu bagian, kemudian terpotong diawal.

Hingga segala kesemogaan itu menjelma nyata, dalam persaudaraan kita ...

@zahidaannayra
#happy_writing_description
#owop_malamnarasi
#repost_from_owop