Selasa, 16 Mei 2017

Jarak




Terkadang, jauh menjadi lebih baik, ketika dengan jarak, hati-hati itu lebih terjaga. Tak ada yang tersakiti, pun tak mencipta luka yang saling meniadai.

Kadang, diam pun menjadi lebih baik, jika dengan bicara mampu membuat riak yang tenang menjadi bergelombang.

Ada waktu dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk memulai perbincangan denganmu. Menjadikanku lebih sensitif dari biasanya. Menjadikan hati lebih rentan dari kebal yang selama ini membentengi. Kemudian ketakutan-ketakutan itu muncul dengan sendirinya. Menggentayangi hari-hari.

Ada waktu dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk mengulum senyum pun sapa kepadamu. Aku seolah menjadi pesakitan yang takut akan sebuah kehilangan. Aku menjadi takut untuk jauh darimu. Khawatir kau pergi dan tak kembali lagi.

Aku takut menjadi dekat, namun jauh lebih menakutkan dibanding apapun. Sebab aku hanya mampu terpaku, menatap punggungmu yang semakin menjauh dari nyataku. Dan aku terdiam, tanpa mampu bergerak satu langkahpun dari tempat berpijakku.

Padahal, kau tahu? Dari ujung lorong kumenunggu, jauh sebelum kedatanganmu. Berharap was-was akan kau yang bahkan tak pasti kedatangannya. Untuk kemudian semua itu terbayar dengan cemas yang menjelma nyata. Aku melihatmu muncul dari ujung lorong itu, namun arahmu bukan menuju tempatku menunggu. Hanya sepintas kau memandang, kemudian berbalik dan pergi.

Aku bisa apa? Selain termangu memandang kepergianmu, bahkan sebelum kedatanganmu kesini.

Beberapa waktu berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Aku bahkan mulai nyaman dengan jarak yang tercipta. Sebab tak ada lagi khawatir untuk menyakiti hatimu, pun aku. Semuanya mengalir dalam alunan yang datar, tanpa riak yang menggelombang.

Namun, haruskah semuanya tetap berjalan pada alur yang seperti ini? Meski nyaman sama-sama menyelimuti hari, akankah kita tetap begini?

Kita seperti berada pada dua sisi yang dipisahkan oleh satu garis tipis. Nampak mudah untuk diterjang, namun tak pernah sampai untuk diraih. Dan akhirnya, kita berada pada kedekatan yang tak akan pernah mampu untuk disatukan.

Apa memang kita hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu?

Memang benar, melepaskan apa-apa yang bahkan belum dimiliki, jauh lebih menyakitkan dibanding membiarkan pergi seseorang yang pernah membersamai.


__

-zahidaannayra-

Minggu, 14 Mei 2017

Menghitung Mundur



Dear, 15.05.17
Selamat datang angka baru. Jika kusebut ini rindu, kau sebut apa rasamu untukku? hahaha, mungkin tabu. Atau seperti ejaan kata a-b-u a-b-u? Terasa samar, persis seperti warna yang dimilikinya. Entah.
Nikmati saja. Akan ada hari, di mana nanti kita akan saling mengucap kata 'sampai jumpa selamanya'. Semacam kalimat perpisahan yang tak diikhlaskan; beraaat sekali. Tapi tak ada alasan untuk tidak berpisah.
Kita tidak ingin menentang takdir, bukan? tentu saja semoga. Kelak yang kubagi bersamamu bukan lagi tentang mimpi atau cita-cita ke depan. Tapi khayalan dan kenangan. Karena namamu, bukan (lagi) siapa-siapaku.
Tunggu saja, hitunglah mundur dari detik kita saat ini. Maka kau akan tau, betapa aku merasa suliiiit sekali melepaskan segalanya. Melepaskan kata 'kita' di antara kau dan aku. Hahaha. Apa terkesan berlebihan?
Menurutku tidak. Sebenarnya aku hanya ingin berterima kasih dengan sangat. Atas apapun yang kau titipkan di ingatan-ingatanku ini. Selebihnya biar kusimpan sendiri. Tidak perlu siapapun tau. Tenang, aku menikmatinya.
Ohya, satu hal lagi. Aku minta maaf! Atas segenap kelancanganku memasuki celah-celahmu. Sedikitpun tidak ada maksudku untuk menitipkan luka atau rasa sakit. Aku hanya ingin dikenal dan dikenang sebagai orang baik.
Jadi, jangan pernah menganggapku kelak, sebagai alasan kesakitanmu ya? Justru harapku, bahagiaku adalah bahagiamu pula. Begitupun sebaliknya. Sampai dunia mengizinkan kita untuk tetap berteman; selamanya.
Maafkan aku.
Maafkan kita :')

__
-Abella Syauqia-

Pergi Untuk Memahami




"Kau berubah, Ra .." ujarmu suatu waktu.

"kita seolah tak pernah akrab sebelumnya. Kau bahkan seperti asing bertemu tatap denganku. Segala tingkah pun lakuku seakan-akan selalu salah di matamu. Aku di hadapanmu, bahkan bukan seperti teman masa lalu yang penuh dengan kenangan indah sebagai sahabat karib.."

I have known about it.
Aku tahu, suatu saat, kau akan mengungkap semuanya. Aku tahu, suatu saat kau akan meluahkan semuanya. Saat kau tak lagi kuat dengan semua keadaan yang menimpamu. Itu menurutmu. Hanya kau yang seolah menjadi korban dari segala ketidak perdulianku. Bukan, bukan hanya kau yang merasakannya. Meski kau tak akan tahu, bagaimana sejatinya segalanya berjalan hingga aku menjadi pribadi yang seperti ini.

Dan inilah waktunya. Saat kau tak mampu lagi membendung semuanya. Merasakannya sendiri semua beban yang ada. Yang lagi-lagi, itu semua hanya berdasarkan persepsimu.

"Mengapa? Kau menyerah dengan semua ini?"

"Haruskah aku terus-terusan bertindak bodoh, agar orang lain tidak menyadari akan apa yang terjadi?" teriaknya mulai berkaca.

"Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan semua itu?"

Aku menangkap gerakan tangannya yang mengusap ujung mata; menyeka air mata yang jatuh. Air mata yang mungkin telah tertahan sekian lama. Menunggu bendungan yang mampu meluap sewaktu-waktu. Sebelum kemudian ia melanjutkan luahan rasanya.

"Keadaan, Ra.. keadaan serta sikap dinginmu itu yang menuntutku untuk selalu bersandiwara diatas kenyataan yang ada. Kau bahkan tak menyadarinya, Ra.. bagaimana bisa?"

 "Kata siapa?" aku berhenti sejenak; menghadapkan posisiku tepat di hadapannya. 

"kata siapa, aku bahkan tidak tahu? Kata siapa, aku bahkan tidak menyadarinya? Justru kebodohan yang kau buat-buat itulah yang menjadikan segalanya jelas kentara, tanpa kau sadari. Kau bahkan tidak mampu menangkap bahasa cinta yang disampaikan orang-orang di sekitarmu dengan bentuk yang berbeda. Kau bahkan tidak bisa menangkap bahasa tersirat yang disampaikan mereka, lalu bagaimana kau mampu memahami semuanya? Jika bahkan kau tak mampu memahaminya, bagaimana kau bahkan mampu merasakannya?"

Aku menghela napas. Mengalihkan pandangan dari wajahnya yang mulai sendu. Nampak guratan penyesalan yang muncul diantara kerutan dahinya yang menyatu.

"Kau terlalu asyik dengan duniamu, Cha.." suaraku melunak. 
"Kau terlalu disibukkan oleh perasaan-perasaanmu sendiri. Membuatmu merasa seolah selalu menjadi korban atas semua yang terjadi. Lantas kau berhenti memahami. Berhenti menyeksamai situasi. Kemudian menyalahkan orang lain yang menjadi sebab dari segala kenyataan yang terjadi."

Ia terdiam. Dan aku pun sengaja menahan ucapanku untuk beberapa waktu. Menunggu reaksi darinya.

Hening. Sejenak suasana menjadi lebih dingin dari biasanya. Hanya senyap yang menggantung di udara. Meliputi kesenggangan yang menguasai segala rasa.

"Senaif itukah aku, Ra?" tanyanya getir.

Sekejap, aku merasa bersalah karena membuatnya seperti ini. Bagaimanapun, aku tak pernah benar-benar menganggapnya salah. Hanya sedikit perubahan sikap agar membuatnya menyadari apa-apa yang luput darinya selama ini. Meski tak dapat dinyana, ia menyikapinya hingga sejauh ini.

"Ra, forgive ..." tatapnya dengan bulir yang mengalir dari kedua matanya.

Ah, kau selalu mampu membalikkan keadaan menjadi seperti ini. Membuatku seolah menjadi pesakitan yang terdesak oleh beribu kesalahan. Aku masih terdiam. Pikiranku menerawang jauh ke belakang. Mengingat kenangan kita yang masih saja hangat di ingatan. Mataku menghangat. Dan kemudian menjelma buram dalam dalam beberapa saat.

"Aku merindukanmu, Cha.." lirihku pada akhirnya.

"seberapapun kau melangkah menjauh dariku, adamu tetap serasa dekat di sini. Meski hanya merupa bayang-bayang yang tak lagi dapat ku rengkuh wujudnya."

Ia memelukku erat. Seperti tak ingin melepaskan tubuh kecilku dari peluknya. Seolah takut jika tiba-tiba aku pergi.

"Maafkan aku yang tak mampu menyeksamai segala yang terjadi, Ra... maafkan, karena aku tak mampu pahami bahasa cinta yang diam-diam selalu kau titipkan untukku.." 

Allah, jaga ia.. sayangi dirinya, kumpulkan kami dalam Jannah Firdaus-Mu. Amiin." Bisikku lirih dalam hati. Berharap doa itu mengudara, kemudian berpilin menuju 'Ars-Nya.


__
-zahidaannayra-

Sabtu, 13 Mei 2017

Merayakan Kenestapaan


Menghibur diri adalah jalan terbaik bagi mereka yang tengah patah hati.

Aku memutuskan untuk keluar sejenak dari lingkaran pelik ini. Semua serasa penat. Saling menyalahkan satu sama lain. Tak ada penyelesaian masalah baik dari aku maupun kamu. Kita pada ego masing-masing. Ego yang berusaha membesarkan dan berupaya membenarkan diri sendiri.

Tak ada kamu yang mengalah, terlebih aku. Lagi pula aku sudah berulang kali mengalah pada setiap keadaan. Sekarang saatnya aku mencoba lebih tegas. Bukan bermaksud memperkeruh suasana, aku hanya mengenalkan padamu bahwa aku juga bisa berbuat sepertimu. Menjadi acuh, menjadi bisu, menjadi aku yang selalu tak mau tahu.

Bagiku kamu yang selalu pada kondisi tak mau mengalah. Bahkan kamu beberapa kali menyalahkan aku yang katamu tak sesuai dengan apa-apa keinginanmu. Di mana pengorbananmu?

Aku harus segera keluar dari lingkaran ini.

Ketika sakit tak tertahankan lagi. Ketika harus menanggung beban sendiri. Aku memutuskan untuk sejenak menjaga jarak dengan dirimu. Sebisa mungkin aku menghindari membahas semua tentangmu. Aku harus segera keluar dari lingkaran ini walaupun sulitnya tak terkira.

Merayakan kesedihan, kenestapaan, dan segala hal-hal perih sendiri. Membunuh kesepian dengan menghibur diri lewat banyak hal. Semoga kamu tahu.


Jumat, 12 Mei 2017

Sajak Ini Untukmu




"Apa tulisan-tulisanmu itu masih tentang aku, Ra?" tanyamu waktu itu.

"sebab, jujur, kadang aku merasa ge er dengan kekatamu." lanjutnya sedikit tertawa. Dan aku hanya mampu tersenyum. Tidak mengiyakan, pun menyangkal prasangkamu.

Aku tak pernah yakin, untuk siapa kutulis sajak-sajak itu.  Semuanya mengalir begitu saja. Kadang, akupun tersenyum menuliskan potongan-potongan kisah yang mengalun silih berganti dalam ingatan.

Harus kuakui, kadang kelebat ingatan tentangmu mampu membuat senyumku tertahan beberapa waktu. Hingga kemudian aku tersadar oleh sekeliling yang memandang heran ke arahku. Ah, apa kenangan selalunya begitu?

Ia yang mampu membuat seseorang melambung dengan senyum, namun dapat pula menjatuhkan dalam sekejab mata. Mencipta derai yang tiba-tiba.

Tapi, kamu tak perlu khawatir tentang itu. Selama beberapa waktu, pada akhirnya aku telah mampu memetakan semua kenangan pada posisi yang seharusnya. Tidak berlebih-lebih seperti pada umumnya. Termasuk kenangan kita.

Aku baik-baik saja sekarang. Meski tanpa menghapus semua kenangan yang pernah ada, seperti apa yang kamu lakukan terhadapku.😊 Kau ingat, kan? Terhitung satu jam aku susah payah mencarinya, kemudian dengan sumringah menunjukkan kepingan yang tersisa. Meski kemudian aku baru menyadari; mengapa semuanya seolah lenyap tiba-tiba, begitu saja -karna memang kau menghapus seluruhnya dan hanya menyisakan satu- itu pun kebetulan terlewat, bukan?

Dan kau hanya tertawa menyaksikan tingkahku. -kau tahu? saat itu, ada getir yang menyusup diam-diam; merusak bahagiaku-

Semua ingatan itu masih ada. Tersimpan rapi dalam satu bilik yang bahkan aku jaga baik-baik. Dan aku tak perlu takut untuk mengunjunginya sewaktu-waktu. Sebab, bukan lagi patah, pun kenestapaan yang kubawa menemaniku menjenguknya. Namun penerimaan serta senyum kedamaian yang menjadi penggantinya.

Aku menghargaimu dengan caramu. Dan aku harap, kau pun bisa menerima dan menghargai semua kenangan itu, suatu saat nanti. Entah kapan.
Sebab aku tahu, kau lebih dewasa dari sekedar patah yang menyapa harimu.😊😊

__

-bunga dhuha-
@zahidaannayra




Berdamai dengan Jarak


Aku memutuskan pulang. Setelah semuanya menjelaskan bahwa saat ini dekat adalah fana. Namun aku juga percaya, bahwa jauh akan lebih fana. Ia akan lebur oleh temu yang syahdu. Dan akhirnya sekarang aku memastikan diriku kembali ke rumahku, menutup pintu-pintu untuk sementara waktu yang sesekali mampu membawa ingatanku padamu. Biarlah ia rehat untuk saat ini, untuk sementara waktu.

Terima kasih untuk pertemuan singkat yang membuatku benar-benar ingat. Dia di masa depan katamu adalah balon udara yang terbang mengangkasa, suatu saat akan kembali padamu. Dan kini hanya kota-kota kita yang berjauhan, tubuh kita, tulang yang sering kali kau sebut rapuh, dan hati kita. Hanya mereka yang terpisah, selebihnya kita dekat pada cara kita berdekatan. Unik, semisal lewat sajak tanpa alamatnya yang hanya terpapar pada laman jejaring sosial kita. Ah, bagiku itu sudah cukup melegakan. Setidaknya kamu masih juga menyukai apa-apa yang ku sukai.

Aku selalu percaya dengan hakikat bersyukur. Aku bersyukur menemukanmu waktu itu. Perkenalan tanpa banyak bicara ialah ingatan-ingatan yang menyejukkan. Senyuman jadi kata-kata, dan kata-kata yang urung dibebaskan jadi kekaguman tersendiri. Aku menyukai caramu menyimpulkan sesuatu. Melengkapi pendapatku bagimu jauh lebih menentramkan daripada beradu argumen denganku. Kamu selalu membuatku berdecak kagum, sebab yang ku tahu, sepasang rindu adalah paket lengkap yang saling melengkapi, bukan ajang kompetisi harga diri.

Dan hari ini aku memutuskan untuk benar-benar berdamai dengan jarak. Aku memastikan diriku yang harus selalu berbaik sangka. kamu yang jauh adalah kumpulan urusan yang harus  terselesaikan. Aku juga, kotaku terpisah ratusan kota denganmu sekarang. Namun kamu adalah salah satu alasan bahwa rindu harus tetap ditanam, dan tentunya kamu harus selalu ada dalam ingatan. 




Kamis, 11 Mei 2017

Mengembalikan Hari-Hari




Aku bukan pemain drama, lakon, atau sinetron yang mudah menyesuaikan peran. Hari ini kecewa, esok bisa saja menjadi pemeran utama yang paling gembira. Bahkan, tak selamanya aku menyetujui frase bahwa dunia adalah panggung sandiwara. Atau jangan-jangan kamu menganggap keseriusan yang terus kutekuni hingga sejauh ini ialah sandiwara belaka. Aku serius, dan ini jauh sekali dengan istilah main-main.

Mengembalikan diriku pada awal perjuanganku ialah lebih baik.

Ada satu siasat jitu menurutku untuk lebih bisa menerimamu dalam kondisi apa pun. Ialah mengembalikan hari-hari pada kondisi semestinya. Kecamuk bernama perasaan tak pernah habis untuk dibahas. Ia seperti udara, mengikuti bentuk sekelilingnya. Semakin besar ruangannya, semakin besar pula udara yang memenuhi ruangan itu. Hingga pada akhirnya, untuk menghadapi sekaligus menyiasatinya, aku hanya menyisakan satu ruangan paling kecil di kepala, dan satu bilik paling kecil di hati untuk sebuah benda bernama perasaan itu sendiri.

Aku kembalikan diriku untuk bersikap normal sebagaimana mestinya. Semoga ini yang kamu inginkan. Lagi pula, jika memang kamu tak lagi peduli, tak mengapa. Sebab aku menjadi begini akhir-akhir ini juga atas kemauanku sendiri dan dengan motivasi tersendiri pula. Aku ingin menjadi lebih baik.

Aku melakukannya sendiri, dan itu membutuhkan waktu lama.

Bagaimanapun, aku cukup perasa. Menjadi makhluk dengan perasaan cukup besar membuatku sulit berubah. Aku hampir sering berdiam pada satu titik dengan alasan kenyamanan. Aku kerap mengkhawatirkan jarak, perasaan, bahkan kehilangan. Aku mengkhawatirkanmu yang mudah berubah oleh ruang dan waktu. Padahal perasaan sesungguhnya tak terlalu butuh dua dimensi itu. Menyesakkan memang apabila rasa terkekang oleh ruang atau terbebani oleh waktu.

Mengembalikan hari-hari menjadi seperti ini adalah niatanku sejak lama. Aku menjadi lebih tenang dengan keadaan tanpa tekanan dari siapa pun. Bila rindu berbinar-binar, akan kubiarkan ia berkeliaran bebas di sekelilingku, begitu lebih tak tersiksa.


Pada satu waktu, kita bebas berlari. Menjauh dari ranah nyata dan menepi dari biasanya.


Rabu, 10 Mei 2017

Perihal Ujian



Langkahnya tertatih. Berusaha menyeimbangkan tubuh kecilnya dengan setumpuk cucian yang ia bawa. Sedikit terhuyung, sembari sesekali membenahi pakaian yang terjuntai. Ia sedikit dapat bernafas lega, karena langkahnya kali ini mendahului hujan yang merupa rintik. Belum menderas seperti hari-hari sebelumnya. Meski masih tersisa nafasnya yang tersengal tak beraturan, setidaknya, ia tak lagi harus mencuci ulang pakaian-pakaian yang jatuh tertiup angin dan terhempas oleh hujan deras.

Sudah seminggu ini ia bekerja lebih ekstra, semenjak ayahnya meninggalkan ia dan ibunya tanpa tanggung jawab yang seharusnya dibebankan penuh kepadanya sebagai tulang punggung keluarga. Sementara sang ibu mulai sakit-sakitan, sebab beban kehidupan seolah membayang berat di pelupuk mata.

Betapa ikhlas sungguh tak mudah. Seringkali ia ingin mendesah, ingin mengutuk takdir yang menimpa diri dan kehidupannya.

Betapa berlapang dada sungguh bukan suatu pekerjaan yang mudah. Mengingat betapa banyak beban yang tidak seharusnya ia pikul di usianya yang belia. Masa dimana seharusnya ia bahagia bersama teman-teman sebayanya. Saat-saat indah dimana pertumbuhannya sedang mencapai masa puber yang rentan oleh setiap inchi peristiwa baru yang belum dikuasai olehnya.

Gadis itu meraba perlahan telapak tangannya yang tak lagi halus. Ada perih yang membekas diantara jari-jari mungilnya. Lecet yang membekas lantaran tumpukan cucian yang senantiasa setia menemani hari-harinya.

Kau tahu, bagaimana perasaannya?
Saat ia ingin meluahkan segala rasa, mengutarakan setiap beban yang mendera. Berteriak menumpahkan segalanya atas seluruh kebosanan yang merajalela kelelahannya.
Hatinya ingin berontak, pertahanannya hampir runtuh diluruh ujian yang menimpa kehidupannya. Ia berada di satu titik keterjatuhan yang membawanya pada tebing keputusasaan.

Namun iman di hatinya menahan langkahnya untuk terjun pada jurang putus asa. Ia sebenar sadar, bahwa Allah hanya sedang menguji kekuatan imannya. Seberapa tangguhkah ia? Seberapa kuat pertahanannya?

 لا يكلف الله نفسا الا وسعها

Janji Allah menguatkan hatinya. Ia yakin, Allah lebih tahu akan kemampuan dirinya. Jika Tuhannya saja percaya bahwa dirinya mampu melalui ini semua, mengapa bahkan ia tak yakin dengan apa-apa yang dipercayakan kepadanya?

Secercah cahaya merupa semburat dalam hatinya. Ia sebenar sadar, bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Dunia tempat tinggalnya kini, hanyalah merupakan persinggahan fana. Tempat berteduh dari perjalanan panjang yang sesungguhnya. Dan cobaan yang menimpanya hanyalah sebagian kecil dari ujian yang diberikan untuk menguji ketahanannya, ketangguhan pribadinya, pun keistiqomahan imannya.

Ini belumlah seberapa. Masih banyak manusia di luar sana yang ditimpa ujian yang lebih dari apa-apa yang menimpanya. Gadis itu menghela napas, lagi. Namun bukan lagi nafas keputusasaan, melainkan semangat yang mulai terbit diantara relung hatinya. Seperti cahaya yang menerobos, memberinya kekuatan alamiah dari dalam. Ia sebenar sadar, sebagai seorang hamba, tugasnya hanyalah taat, kemudian bersyukur; bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara sebuah kehidupan yang fana.

__

Seberat apapun itu,
 jangan pernah merasa lemah dengan ujian yang ada
Katakan pada masalahmu, bahwa kau memiliki Tuhan yang Maha Kuasa!

Minggu, 07 Mei 2017

Panggilan yang Terabaikan





Jika kau merasa seolah do'amu tidak diijabah oleh-Nya,
tanyakan pada dirimu;
Sudahkan kau bersegera dalam memenuhi panggilan-Nya?

@zahidaannayra


Adzan maghrib telah usai beberapa menit yang lalu. Namun hingga kini, masjid masih terlihat lengang. Dari sekian banyak manusia, hanya beberapa yang beranjak dari rutinitasnya untuk bersegera memenuhi panggilan-Nya.

Di satu sudut, tampak beberapa yang masih asyik berkumpul. Melanjutkan obrolannya meski telah menjawab lafadz-lafadz adzan yang dikumandangkan. Tertawa tanpa kesadaran untuk segera beranjak memenuhi panggilan-Nya.

Di sudut lain, beberapa remaja masih asyik dengan telponnya. Bercengkrama riang dengan lawan bicara yang entah siapa. Enggan memutus pembicaraan dan menghentikan pembahasan. Tak ingin mematikan telponnya.

Sementara sang muadzin hanya bisa menghela napas panjang, melihat hanya ada segelintir orang yang ada di masjid bersamanya. Muadzin itu tak ingin menunda waktu lebih lama menunggu mereka yang bahkan nyaman dengan kelalaiannya.

Ia beranjak. Mengambil microphone dan mengumandangkan iqomah. Tanda sholat benar-benar akan dimulai. Suaranya lantang. Seakan menjadi ta'kid panggilan sholat bagi mereka yang masih saja sibuk dengan kegiatannya.

Mereka berlarian, segera mengambil air wudhu untuk sholat. Namun, masih saja ada yang dengan santainya tertawa, melenggang tanpa rasa bersalah.

Nastaghfirullahal adzim ...

Panggilan adzan dengan dua kali lafadz yang diulang, layaknya seruan dari Allah secara lembut.

Hayya 'alash sholaaah ...
Hayya 'alash sholaaah ...

Ia menyeru hamba-Nya untuk datang, mengundang kita untuk datang ke hadapan-Nya. Dengan limpahan rahmat dan karunia yang Ia janjikan kepada kita. Menawarkan ketenangan hati yang kita damba, kasih sayang yang kita butuhkan, serta pengabulan untuk setiap doa yang kita pinta.

Adzan, layaknya panggilan cinta dari Allah untuk hamba-Nya. Seolah membisiki lembut telinga kita; Kemarilah, wahai hamba-Ku ... Datanglah dengan segenap harap yang kau punya. Menghadaplah dengan segala kesah yang ingin kau keluhkan. Aku akan merengkuhmu dalam peluk-Ku. Membelaimu dalam sujud panjangmu. Kemarilah, penuhilah setiap hajat yang kau butuhkan atas-Ku.

Hayya 'alal falaah ..
Hayya 'alal falaah ..

Aku tawarkan kemenangan atasmu, hamba-hamba-Ku. Tidakkah kau ingin bersegera?

Namun, hingga lafal penutup adzan dikumandangkan, hanya sedikit dari mereka yang bersegera untuk menyambut kemenangan itu. Memenuhi panggilan cinta dari Sang Pencipta.

Iqomah, seperti panggilan ta'kid, penekanan bagi manusia untuk segera memenuhi kewajiban mereka atas robbnya. Haruskah Allah memangilmu dua kali? Setelah panggilan pertama berupa adzan yang hanya kau anggap sebagai penanda waktu sholat. Bukan sebagai alarm bahwa sudah waktunya bagi kita untuk memenuhi seruannya. Tidak malukah kita?

Nastaghfirullah, wa natuubu ilaiik..