Terkadang,
jauh menjadi lebih baik, ketika dengan jarak, hati-hati itu lebih terjaga. Tak
ada yang tersakiti, pun tak mencipta luka yang saling meniadai.
Kadang,
diam pun menjadi lebih baik, jika dengan bicara mampu membuat riak yang tenang
menjadi bergelombang.
Ada waktu
dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk memulai perbincangan denganmu.
Menjadikanku lebih sensitif dari biasanya. Menjadikan hati lebih rentan dari
kebal yang selama ini membentengi. Kemudian ketakutan-ketakutan itu muncul
dengan sendirinya. Menggentayangi hari-hari.
Ada waktu
dimana aku menyesal ketika memutuskan untuk mengulum senyum pun sapa kepadamu.
Aku seolah menjadi pesakitan yang takut akan sebuah kehilangan. Aku menjadi
takut untuk jauh darimu. Khawatir kau pergi dan tak kembali lagi.
Aku takut
menjadi dekat, namun jauh lebih menakutkan dibanding apapun. Sebab aku hanya
mampu terpaku, menatap punggungmu yang semakin menjauh dari nyataku. Dan aku
terdiam, tanpa mampu bergerak satu langkahpun dari tempat berpijakku.
Padahal,
kau tahu? Dari ujung lorong kumenunggu, jauh sebelum kedatanganmu. Berharap was-was
akan kau yang bahkan tak pasti kedatangannya. Untuk kemudian semua itu terbayar
dengan cemas yang menjelma nyata. Aku melihatmu muncul dari ujung lorong itu, namun
arahmu bukan menuju tempatku menunggu. Hanya sepintas kau memandang, kemudian
berbalik dan pergi.
Aku bisa
apa? Selain termangu memandang kepergianmu, bahkan sebelum kedatanganmu kesini.
Beberapa
waktu berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Aku bahkan mulai
nyaman dengan jarak yang tercipta. Sebab tak ada lagi khawatir untuk menyakiti
hatimu, pun aku. Semuanya mengalir dalam alunan yang datar, tanpa riak yang
menggelombang.
Namun,
haruskah semuanya tetap berjalan pada alur yang seperti ini? Meski nyaman
sama-sama menyelimuti hari, akankah kita tetap begini?
Kita
seperti berada pada dua sisi yang dipisahkan oleh satu garis tipis. Nampak mudah
untuk diterjang, namun tak pernah sampai untuk diraih. Dan akhirnya, kita
berada pada kedekatan yang tak akan pernah mampu untuk disatukan.
Apa memang
kita hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu?
Memang benar,
melepaskan apa-apa yang bahkan belum dimiliki, jauh lebih menyakitkan dibanding
membiarkan pergi seseorang yang pernah membersamai.
__
-zahidaannayra-